Belajar dari Jouska dan mencegah “Jouska2” lainnya di masa depan.
Awalnya, tulisan ini mao gue kasih judul “Jangan mau dibohongin sama Influencers Finansial”, cuma gue urungkan. Pertama, takut dikira gue lagi bahas Ahok & kasus keserimpet lidahnya dulu. Kedua, gue takut dianggap menyerang financial influencers. Padahal emang iya.
Lah? Gak deng. Tulisan ini sejatinya bukan gue tujukan ke para financial influencers. Tapi justru ke pembaca dan audiensnya. Karena yang lebih ngerasain dampak dan bahayanya dibego-begoin sama mereka, ya kita. Para followers polos. Sini gue jelasin sejumlah alasannya.
Yang pertama, gue bakal berusaha jelasin menggunakan “Cone of Experience Theory” yang dikemukakan oleh Edgar Dale. Nama teorinya mungkin asing. Tapi gue yakin lu pernah denger tentang konsepnya: “Manusia hanya mampu mengingat 10% dari apa yang mereka baca, 20% dari apa yang mereka dengar, 30% dari apa yang mereka lihat, 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar, 70% dari apa yang mereka katakan dan tuliskan, dan 90% dari apa yang mereka lakukan.”
Temuan ini ada landasan ilmiahnya. Dari tahun 1920-an, dan sampai sekarang masih berlaku. Meski tentu angkanya gak saklek begitu ya, tapi konsep besarnya begitu. Basisnya juga Taksonomi Bloom, teori yang jadi pegangan para praktisi di dunia pendidikan: bahwa untuk benar-benar menguasai suatu materi, ada tahapan dari hanya sekadar menghafal, memahami, mengaplikasikan, sampai menganalisa dan menciptakan suatu teori sendiri.
Inilah kenapa anak SD disuruh ngapalin nama-nama pahlawan. Anak SMP disuruh ngejelasin dan belajar aplikasi. Anak SMA disuruh bikin esai. Anak kuliahan disuruh bikin skripsi yang menganalisa dan mengevaluasi teori yang ada. Dan mahasiswa doktoral disuruh bikin teori sendiri. Karena tiap-tiap level pembelajaran, memiliki tujuan dan tingkat penguasaan materi yang berbeda. Semakin tinggi, tuntutannya semakin berat juga.
Konsepnya udah dapet ya? Nah, pertanyaan gue simpel. Apa yang lu harapkan dari nge-follow financial influencers yang seringkali juga masih belajar dan kagak pinter-pinter amat? Yang lu dapet ya cuma remahan. Mereka aja masih belajar, paling cuma nyerep 30-50% dari ilmu sebenarnya, terus elu belajar lagi dari mereka? Cuma dari postingan-postingan instant yang lu baca sekilas sambil Netflixan? Yah, jangan harap lu bakal belajar banyak sih. Coba liat lagi noh ilustrasinya Cone of Experience.
Biar belajarnya lebih maksimal, ya belajarlah ke ahli yang memang sudah berpengalaman dan kompeten di bidangnya. Anggaplah lu anak kedokteran, lu yakin bisa lulus kuliah kalo cuma pantengin medsosnya orang yang hobi bacot kesehatan tapi ternyata bukan dokter? Gak kan. Lu baca buku perkuliahan. Lu belajar sama dosen dan dokter. Lu praktek di lab dan koas dulu. Intinya, konsumsilah buku atau sumber yang jelas & kredibel, yang penjelasannya sampai ke esensi, gak berhenti di permukaan.
Kalau lu cuma dengerin bacotnya financial influencers, gak jarang lu cuma bakal dapet sekumpulan jargon yang sekilas terlihat canggih. Udah ARA? Cuan berapa dari splitstock SATPAM BCA? Udah nabung crypto? Koleksi NFT lu apa aja? Aduh bullish banget marketnya ya? Bakal rebound gak nih? Fundamentalnya udah lu cek? Ayam Sabana kapan IPO ya? Dan segudang jargon lain, yang ujungnya cuma bakal bikin lu FOMO. Udah, gitu doang.
Alasan berikutnya, kenapa menurut gue lu kagak butuh financial influencers, adalah pentingnya untuk belajar suatu hal sampai ke intinya. Jangan berhenti di jargon dan hal-hal permukaan doang. Biasakan first principles thinking, ketika belajar sesuatu, apalagi hal yang penting kayak urusan keuangan. Kejar terus sampe dapet esensinya.
Gue belajar ini pas baca biografinya Elon Musk. Doi ketika belajar sesuatu, gak bakal berhenti cuma sampai di penjelasan superfisial. “Udah Lon, jangan bikin bisnis roket luar angkasa, mahal banget!”, kalau dia berhenti sampai situ, ya gak lanjut jadi Space X tuh. Dia dalemin lagi, “KENAPA BISA MAHAL BANGET?”. Oh ternyata roketnya cuma bisa sekali pakai. KENAPA GITU? KENAPA GINI? KENAPA GAK GINI? KENAPA GAK GITU? Terus dikejar, sampe doi bisa paham sepaham-pahamnya, inti dari bisnis dan teori peluncuran roket ke luar angkasa.
Setelah itu, dia nemuin solusinya deh. Bikin teknologi yang memungkinkan roketnya dipakai berkali-kali. Jadi biayanya bisa jauh lebih murah. Dan peluncuran wahana ke luar angkasa, baik untuk meluncurkan satelit, reload logistik di ISS, sampai ngirim astronot, bisa JAUH LEBIH TERJANGKAU sekarang.
Gimana cara melakukan first principles thinking? PERTANYAKAN setiap mitos dan asumsi yang elu dengar. Jangan ditelan mentah-mentah. Misalnya “Semua orang WAJIB punya properti SEDINI mungkin”. Nah lu pertanyakan tuh alasannya, kenapa? Emang begitu? Emang kita pasti sengsara kalau gak punya rumah? Yakin harga properti naiknya melebihi instrumen investasi lain? Apa bener, seseorang yang beli properti gak bakalan rugi? Apa aja sih biaya yang keluar ketika kita memiliki properti? Lu kejar dah jawabannya. Jangan ngangguk-ngangguk doang kayak kebo dicucuk idungnya.
Setelah mempertanyakan, penting untuk kita breakdown atau bedah suatu mitos atau asumsi. Semua pengetahuan itu ada building blocksnya. Ada fondasi dan asumsi-asumsi lain yang melatarinya. Ibarat pohon, jangan sampe kita cuma tahu daunnya doang. Bedah sampe kita tahu cabang, ranting, sampai ke akar-akarnya. Begitu pun pengetahuan. Termasuk mitos dan asumsi tentang keuangan.
Ketika udah kita bedah asumsi tersebut sampai ke prinsip fundamental yang udah gak bisa dibedah lagi, baru deh langkah berikutnya: create solution from scratch. Membuat sebuah pengetahuan baru, yang berbasis prinsip fundamental yang sudah kita temukan tadi. Dalam kasus Elon, ya prinsip-prinsip fisika tentang combustion engine. Tentang prinsip gravitasi. Tentang material dan produksinya. Yang akhirnya bisa membuat doi menemukan solusi baru untuk peluncuran roket luar angkasa.
Oke, jadi sejauh ini gue udah bahas 3 alasan ya: cone of experience theory, segudang jargon yang cuma bikin FOMO, serta pentingnya first principles thinking. Tiga alasan ini aja udah panjang banget busyet. Oleh sebab itu gue sudahi dulu ya bagian pertama ini. Sejumlah alasan lainnya akan gue jabarkan di tulisan selanjutnya. Mulai dari bahaya & biasnya seorang financial influencers, finplan curse atau finplan trap yang kerap terjadi, sampai bedah kasus Jouska dan tips praktis belajar finansial. Stay tuned!
Jakarta, 19 Oktober 2021