Belajar dari Jouska dan Mencegah “Jouska-Jouska” lainnya di masa depan.
Selamat datang di tulisan terakhir. Jangan lupa dibaca dulu dua tulisan sebelumnya, ya. Saya gak ngira bakal sepanjang ini sih. Kenapa jadinya tiga episode? Ya biar gak kepanjangan aja kayak film Bollywood. Kasihan yang baca.
Mau saya pendekkin, tapi memang banyak yang perlu dibahas. Supaya komprehensif dan saya gak dikira cuma haters atau barisan sakit hati aja. Gak, saya gak sakit hati sama siapa-siapa kok selain sama Manchester United. Saya juga bukan klien Jouska atau finfluencers mana pun juga.
Kemarin, saya udah sempat bahas tentang “Finplan atau Finfluencers Curse / Trap”. Di sini saya cuma ngejelasin ini lebih mendalam aja sambil membedah kasus Jouska.
Umumnya, finfluencers (juga Jouska) akan mulai membangun citra dan kredibilitas dengan memberikan tips-tips ringan seputar investasi dan pengelolaan keuangan. Teknik fearmongering tak jarang dipakai di sini. Menyebar ketakutan. Ya biaya melahirkan fenomenal lah. Biaya pendidikan anak yang bombastis lah. Dan lainnya. Bermain dengan emosi pembacanya.
Kenapa? Karena memang kita bukan makhluk yang rasional-rasional amat, kala menyangkut finansial. Emosi jauh lebih dominan menentukan keputusan finansial seseorang. Silakan baca buku-bukunya Richard Thaler atau Daniel Kahneman, keduanya peraih nobel ekonomi, yang mendalami behavioural economics. Bagaimana kita mengambil keputusan finansial, seringkali tidak rasional. We are rarely a rational being when it comes to economic.
Nah, setelah konten-konten fearmongering mereka sering viral dan brand sebagai finfluencers mulai terbangun, mereka mulai menawarkan jasa penasihat / pengelolaan keuangan. “KAMU BINGUNG GIMANA MAO SEKOLAHIN KENZO NANTI KALO GAJI MASIH UMR JOGJA?”, Gunakan jasa kami! Kami beri tahu rahasianya. Gitu kurang lebih pesan yang mereka sampaikan.
Kalau ceritanya berhenti di situ saja, harusnya aman. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada tindakan kriminal. Tidak ada skandal. Klien tenang, finfluencers senang. Toh, profesi penasihat dan perencana keuangan itu beneran ada dan membantu, kok. Sejak dulu. Lantas, kenapa bermasalah?
The shitshow began here. Dalam kasus Jouska, ada LIMA kesalahan besar. Yang pertama, Jouska dan anak perusahaannya mengaburkan batasan antara penasihat keuangan & manajer investasi. Jouska merasa berhak memberi nasihat, mengarahkan klien ke manajer investasi, bahkan mengelola portofolio keuangan klien mereka. Padahal, itu semua profesi yang sangat berbeda dan membutuhkan izin yang juga berbeda. Ada izin APPE (Agen Perantara Efek Dagang), WPEE (Wakil Penjamin Emisi Efek), sampai WMI (Wakil Manajer Investasi). Semuanya tidak dimiliki Jouska.
Kesalahan kedua, berkaitan dengan pencitraaan mereka di awal yang mengesankan mereka sebagai pihak yang cerdas, sukses, dan jago ngecuan dalam berinvestasi. Alhasil, ada tuntutan untuk mereka terus menghasilkan cuan fantastis bagi klien. Padahal, kita tahu ini tidak realistis. Even the best investors have their fair share of loss! Nah, tuntutan tidak realistis ini akhirnya membuat mereka mencari cara-cara “bangsat” untuk nge-cuan.
Saat kasus Jouska ramai, tersebar kontrak yang ditandatangani oleh klien mereka. Ada management fee sebesar 50%-60% dari return investasi yang dihasilkan. Juga ada target mengejar return investasi hingga lebih dari 100% setiap tahunnya. Ya, Anda gak salah baca. Se-absurd dan setolol itu kontraknya.
Pakai logika aja, dengan kontrak seperti ini apa yang akan terjadi kira-kira? Ya Jouska bakal ngejar return setinggi mungkin, di instrumen-instrumen investasi yang high risk dan tidak jelas. Wong makin tinggi returnnya, mereka dapat fee makin besar. Kalau rugi? Yaudah. Kan risiko. Ini mah lu mau judi pake duit temen namanya. Menang bagi dua, kalo rugi temen lu yang nanggung. Kan, tolol.
Bahkan hedge fund di Amrik aja, kagak ada management fee seblangsak itu. Mereka umumnya nerapin kebijakan two & twenty. Fee mereka HANYA 2% dari total AUM (Asset Under Management) dan 20% dari total return yang dihasilkan. Skema fee seperti ini memastikan hedge fund tidak ugal-ugalan dalam mengelola investasi klien. Kalau mereka banyak loss, ya AUM akan turun. AUM turun? Ya fee mereka juga bakal turun. Jadi, skema 2/20 jelas pertanggungjawabannya. Bahkan sekarang banyak hedge fund yang nerapin fee di bawah itu, misalnya 1.5/15. Konsepnya tetap jelas: kepentingan klien yang utama.
Kepentingan klien adalah yang terutama. Ini jelas prinsip utama dari penasihat keuangan yang benar. Netralitas dan independensi harus dijaga. Ini yang tidak dimiliki Jouska. Mereka sudah bermain di terlalu banyak kaki. Terlalu banyak konflik kepentingan. Penasihat keuangan iya. Manajer investasi iya. Membantu perusahaan lain menjual produk investasi juga iya. Alhasil, tidak ada lagi netralitas dan independensi. Kepentingan klien bukan prioritas mereka. Yang penting, ya cuan. Klien rugi? Ya bodo amat. Toh income stream mereka bukan cuma dari klien.
Berada di posisi Jouska, juga finfluencers lainnya, tanpa menjunjung tinggi profesionalitas & etika, adalah bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu. Sangat mudah disusupi dan “dimanfaatkan” oleh pelaku kejahatan keuangan.
Lu punya perusahaan yang melantai di bursa? Lu ajak aja mereka kongkalikong buat pompom saham lu. Lu suruh mereka beli saham lu di harga Rp 1.000. Lu suruh mereka pompom saham deh dengan mengarahkan semua dana investasi klien mereka untuk ikutan beli saham lu. Demand naik, harga saham naik, mereka jual deh sahamnya. Saham yang tadinya mereka beli di angka Rp 1.000, jual di Rp 2.000. Udah cuan 100%. Saat habis itu nilainya turun dan klien rugi? Ya bodo amat. Kan udah cuan.
Lu punya perusahaan investasi abal-abal? Lu ajak kerjasama deh para finfluencers ternama. Taroh mereka jadi komisaris kek. Apa kek. Kasih saham atau komisi / kickback gede kalo berhasil jualan dah. Mereka akan senang hati merekomendasikan lu ke klien-klien mereka. Apakah itu langkah terbaik untuk kepentingan klien? Bodo amat.
Lu koruptor/kriminal yang butuh modus pencucian uang? Nah. Cocok dah sana collab sama finfluencers. Mereka punya power & influence untuk mengarahkan dana klien. Yang jumlahnya besar, pemiliknya banyak, dan sumbernya “bersih”. Pas banget buat muterin uang yang tadinya kagak jelas sumbernya, jadi nampak bersih & terbebas dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Jelas ya, konsepnya? Modus-modus seperti ini bukan barang baru. Di belahan bumi mana pun ada aja. Bahkan Jouska juga bukan yang pertama terlibat skandal ini di Indonesia. Dan saya ragu akan jadi yang terakhir.
Intinya, waspadalah. Ingat kata pepatah: little knowledge is a dangerous thing. Belajar tentu hal baik. Tapi belajar sedikit lalu berlagak banyak, bisa membuat kita kepedean dan membahayakan diri sendiri pun orang lain. Dan ini berlaku untuk kedua belah pihak: finfluencers & pengikutnya.
Jakarta, 26 Oktober 2021.