Youtube, Edtech, & Jobs to Be Done Theory

Pagi tadi liat postingan @ecommurz soal tweet yang bilang gini:

Gue setuju banget sama tweet tersebut. Iyes, Youtube adalah kompetitor terbesar untuk edtech untuk sejumlah alasan. Mari coba kita bahas pake teori Jobs to be Done, sebuah teori dari Clayton Christensen, profesor bisnis dari Harvard.

Buat gue, teori ini insightful banget untuk: (1) memahami customer; (2) mengapa mereka memakai dan mengadopsi sebuah produk/jasa; serta (3) memetakan kompetitor dengan lebih tajam.

Secara sederhana, teori ini mengajak kita memahami bahwa customer membeli suatu produk/jasa UNTUK membantu mereka menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, bukan semata untuk dikonsumsi. Setiap produk kita “hire” untuk menyelesaikan sebuah tugas. Membantu kita berprogres dalam keseharian. Itulah kenapa nama teorinya “jobs to be done”.

Contohnya ketika sebuah restoran di Amrik ingin menjual lebih banyak milkshake. Mereka bikin market research. Nanya apa yang perlu diperbaiki dari rasanya. Apa varian rasa baru yang diinginkan. Dan sebagainya. Ternyata, setelah itu diwujudkan pun, gak ngaruh ke sales.

Lalu mereka mencoba memecahkan masalah ini memakai teori jobs to be done. Pertanyaannya, kenapa sih orang beli milkshake? Untuk menyelesaikan tugas apa? Ternyata, orang beli milkshake untuk dua alasan besar: di pagi hari untuk menemani mereka commuting dan “nahan laper” sampai jam makan siang, di sore hari sebagai reward untuk anak-anak mereka.

Temuan ini membuat restoran bisa mengembangkan produk dengan lebih spesifik untuk menyempurnakan dua tugas tadi. Dibuat lebih cocok untuk commuter di pagi hari. Juga dibuat menu lain khusus anak-anak. Marketing pun disesuaikan untuk menyasar dua segmen tadi. Hasilnya, penjualan meningkat drastis.

Teori ini membantu kita memetakan kompetitor dengan lebih baik. Produsen mobil misalnya, bisa jadi kompetitor mereka bukan cuma sesama produsen mobil. Tapi apapun yang bisa membantu orang menyelesaikan pekerjaan ini: membawa dari titik A ke titik B dengan aman, nyaman, dan cepat. Saingannya? Ya transportasi umum. Gojek. Grabcar. Atau layanan ride-sharing lainnya.

Starbucks juga gak selalu berkompetitor dengan kedai kopi lainnya. Kebanyakan orang meng-hire starbucks untuk “menyediakan the third place di luar rumah dan kantor untuk gue merasa nyaman, diterima, dan bisa ketemu orang lain”. Kompetitor mereka bukan cuma Janji Jiwa. Bisa jadi malah coworking space, restoran, atau lounge hotel.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, apakah benar saingan utama dari EdTech adalah Youtube? Menurut gue IYA BANGET.

Mari kita coba analisa sederhana. Dari pengalaman dan pengamatan, menurut gue ada 3 alasan orang meng-“hire” EdTech dalam hidup mereka: membantu belajar sesuatu, membantu mengisi waktu luang, & membantu meningkatkan kredibilitas.

MEMBANTU GUE BELAJAR SESUATU
Jelas, EdTech bukan satu-satunya pilihan. Gue bisa hire Youtube untuk hal yang sama, dengan ragam pilihan lebih banyak. Dari belajar masak sampe bahasa asing, dari belajar marketing sampe bangun rumah di tengah hutan. Semua ada di Youtube. Ketika gue ingin belajar dengan lebih spesifik, terstruktur, dan pengajarnya kredibel, baru deh gue hire EdTech. Apakah itu sering terjadi? Gak juga. Kecuali gue anak usia sekolah yang masih butuh bantuan memahami pelajaran sekolah ya. Mungkin EdTech lebih tepat. Itu pun saingannya sama tempat kursus deket rumah yang lebih dekat dan jelas human connection-nya.

MENGISI WAKTU LUANG DENGAN LEBIH PRODUKTIF
Gak sedikit yang hire EdTech karena ingin mengisi waktu luang. Biar gak sia-sia dan lebih produktif, gue ambil kursus ah atau belajar sesuatu di EdTech. Poin utamanya di mengisi waktu luang. Apakah EdTech adalah satu-satunya pilihan? Jelas tidak. Ada Youtube, Podcast, buku, & hobi produktif lainnya.

Teori Jobs to be Done menjelaskan bahwa kadang kompetitor utama kita bukanlah produk atau jasa lain, tapi justru nonconsumption. Ketika ingin mengisi waktu luang dengan lebih produktif, tapi terasa ribet dan mahal, bisa jadi kita malah memilih untuk gak mengkonsumsi apa-apa. Nonconsumption. Mending rebahan aja sambil Netflixan. Ini, kompetisi yang dihadapi EdTech.

MENINGKATKAN KREDIBILITAS
Nah, poin terakhir ini yang bisa jadi keunggulan EdTech. Ketika kita ingin meningkatkan kredibilitas kita melalui sertifikasi dan kursus terpercaya. Yang bisa membantu meningkatkan karir atau personal branding kita. Di sini, EdTech jelas lebih unggul dari Youtube. Tapi, sampai kapan? Kalau Youtube suatu saat bikin kurasi konten dan sertifikasi, mereka bisa jadi saingan berat EdTech. Dan di luar Youtube, EdTech masih harus bersaing berat dengan lembaga pendidikan serta kampus-kampus ternama yang menawarkan kursus dan program serupa.

Nah, sekian analisa sederhana gue tentang isu ini. Apakah artinya EdTech sulit berkembang? Tentu tidak. Selama bisa memahami alasan KENAPA mereka di-hire, dan fokus mengembangkan produk dan pengalaman yang menjawab alasan tersebut, tentu EdTech punya jalan untuk berkembang.

Sekian tulisan kali ini. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya!


Jakarta, 30 November 2021

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: