Gelombang resign besar-besaran, atau yang kerap media sebut The Great Resignation, The Great Reshuffle, atau berbagai istilah lainnya, terjadi di seluruh dunia. Data di Amerika Serikat, per bulan September kemarin saja total ada 4,4 juta pekerja yang resign. Empat juta orang, cuy! Bayangin dah tuh berapa banyak instastory yang isinya kotak J-CO~
Nah, ini juga terjadi di Indonesia lho. Hasil ngobrol-ngobrol sama temen-temen, di perusahaan mereka memang ini terjadi setahun belakangan. Lintas generasi. Lintas sektor dan departemen.
Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Nah, ini yang masih jarang dibahas sama media. Yuk, kita bahas.
Apa Yang Menyebabkan The Great Resignation?
Pandemi, sudah tentu. Jika tidak ada pandemi, mungkin The Great Resignation tidak akan terjadi. Tapi, bagaimana caranya sih pandemi membuat orang-orang jadi resign? Menurut gue ada beberapa penjelasan: (1) memaksa orang untuk refleksi; (2) jadi tahu bahwa perusahaan gak segitu cintanya sama mereka; (3) eksplorasi opsi lain; (4) menyadari bahwa hidup itu cuma sekali; (5) fokus ke kesehatan mental~
Yang pertama dan terutama, tentu saja pandemi membuat kita semua terjebak di rumah dan memiliki banyak waktu luang. Kita pun jadi punya waktu dan kesempatan untuk merefleksikan kembali hidup kita. Ya pekerjaan. Ya prioritas hidup. Ya masa depan. Banyak, deh. Sebelum pandemi? Mana ada waktu, sayang. Kerja, kerja, kerja, kerokan. Gitu-gitu terus tiba-tiba pensiun. Dulu mah boro-boro mikirin resign, GERD gak kambuh aja udah bagus.
Yang kedua, pandemi membukakan mata sebagian dari kita, bahwa perusahaan yang kita cintai sepenuh jiwa dan raga itu, ternyata tidak secinta itu sama kita. Ada yang maksa karyawan WFO terus. Ada yang wajibin PCR tapi gak mao ngebayarin. Ada yang motong gaji sesuka hati. Ada yang tetep maksa kita lembur meski napas udah kudu pake tabung oksigen. Akhirnya sadar, bahwa peran kita itu di perusahaan ya replacable kayak Aqua Galon, yang kalo udah abis ya tinggal diganti sama yang baru. If they don’t love me that much, why would I love them this much?
Pandemi juga memberi kita kesempatan untuk mengeksporasi berbagai opsi lain. Misalnya buka usaha kecil-kecilan. Ya jualan bakso aci. Ya jualan payung kayak @ombotak. Atau bikin konten kayak @fellexandro. Bisa juga bikin kebon raya bogor mini kayak @meiraanastasia. Atau masih banyak lagi. Intinya, kita jadi mengeksplor usaha baru, karir lain atau baru, hingga melirik perusahaan baru. Alhasil, resign pun jadi opsi yang tidak buruk-buruk amat~
Keempat, disadari atau tidak, pandemi membuat kita lebih dekat dengan kematian. Ya orang terdekat. Ya rekan kerja. Ya saudara. Pasti ada saja yang meninggal di masa pandemi ini. Akhirnya, kita pun ikut merefleksikan diri: hidup tuh, singkat ya! Kematian bisa datang kapan saja. Kita jadi memikirkan ulang tentang prioritas hidup, termasuk pilihan karir saat ini.
Kelima, ini adalah alasan yang menurut saya paling penting dan seringkali luput dibicarakan: fokus ke kesehatan mental! Pandemi membuat kita lebih sadar dan peduli pada isu kesehatan mental. Fokus ke diri sendiri. Fokus mengerjakan hal-hal yang kita sukai dan “bring joy”, kalau kata Marie Kondo. Atau Ikigai, kalo kata orang Jepang (LAH MARIE KONDO KAN JEPANG JUGA, KI!)
Nah, berbagai alasan itu sebenarnya benang merahnya satu: kesehatan mental. Ini yang jadi bensin utama The Great Resignation. Ketika perusahaan gagal atau denial untuk membaca dan mengupayakan hal ini, mereka akan mengalami krisis ketenagakerjaan. Ya mungkin gak langsung terasa saat ini juga dampaknya. Kalau kata Anneth Dellicia: mungkin hari ini, hari esok atau nanti~
Sebenarnya, masih banyak yang mau gue bahas dari The Great Resignation, khususnya dampaknya ke the future of employment. Tapi, kayaknya nanti kepanjangan. Di tulisan berikutnya aja, ya. Sekian tulisan kali ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!
Jakarta, 10 Desember 2021