Kita Semua Satu. Spirit Dollsnya Aja Yang Beda-Beda.

Tidak, judul ini bukan untuk menakutimu. Bukan berarti di kolong tempat tidurmu sebenarnya ada spirit doll yang sedang menunggu diberi makan. Bukan. Ya bisa jadi emang ada, tapi bukan itu maksud saya di sini.

Belakangan, sedang ramai fenomena spirit dolls, atau boneka arwah, yang kian dipopulerkan beberapa selebriti yang mengadopsi boneka tersebut menjadi “anak” mereka.

Ini bukanlah hal baru sebenarnya. Keyakinan bahwa sebuah boneka memiliki spirit atau penghuni tentu bukan hal baru. Di Thailand ada yang namanya Luk Thep atau Malaikat Anak. Di Nagoro, sebuah desa di Jepang, dihuni ratusan boneka seukuran manusia dewasa untuk menggantikan para penduduk aslinya yang sudah pindah ke daerah lain. Belum lagi sebagian lelaki Jepang yang terobsesi, jatuh cinta, hingga menikahi sex dolls. Di Amerika Serikat tentu kita familiar dengan Anabelle dan Chucky.

Dalam ranah yang lebih luas, sejatinya spirit dolls ini adalah sebuah kemelekatan emosional terhadap suatu benda yang diyakini bisa memberikan rasa senang atau bahagia pada pemiliknya. Kemelekatan kebendaan. Worldly possessions. Dan rasanya ini hal lumrah dan umum terjadi pada setiap kita, bukan?

Ya koleksi gundam. Ya koleksi tumbler Starbucks. Sepeda mahal. Motor keren. Gadget canggih. Sepatu dan tas branded. Sampai aset kripto dan NFT. Semua itu kemelekatan kebendaan.

Tapi kan ada aspek meyakini sesuatu yang tidak dapat dibuktikan dengan sains? Oke. Kalau mau fokus di aspek itu, kita juga gak beda-beda banget, sebenarnya. Ada yang percaya zodiak. Ada yang percaya gelang power balance. Ada yang percaya kalung eucalyptus anti virus. Ada yang percaya bahwa vaksin itu diisi chip 5G. Ada yang percaya sama kebijakan pemerintah. Bedanya apa?

Intinya, tidak perlu khawatir. Cuma karena Tuhan kita beda, bukan berarti kita harus saling menyalahkan. Cuma karena spirit dolls kita beda, bukan berarti harus saling merendahkan.

Faktor Ekonomi dan Sensasi

Ya, tidak dipungkiri tentu ada faktor ekonomi dan pencarian sensasi dalam setiap tren. Mau itu tren tanaman mahal, tren ngiklan di New York Times Square, atau tren spirit dolls. Kita tidak bisa melepaskannya dari kedua faktor itu. Ada yang memiliki motif finansial dan berusaha meraup untung dari tren yang sedang berkembang. Juga ada yang mengikuti tren semata untuk mencari sensasi dan atensi. We are at the peak of attention economy, after all.

Kebermanfaatan

Emang spirit dolls ada manfaatnya? Ya ada. Jobs to be done theory (JBTD) mengajarkan kita bahwa suatu produk tidak hanya memiliki dimensi fungsi, tapi juga dimensi emosional & sosial. Misalnya, tumbler Starbucks, kalau kita cuma menelaah dari sisi fungsi, itu kan sama aja kayak botol minum murah lainnya. Tapi kita harus bisa melihat dimensi emosional dan sosialnya juga. Bahwa kita merasa senang dan hebat bisa mendapatkan koleksi unik terbaru (dimensi emosional), juga bisa kita pamerkan atau jadi bahan obrolan ke teman-teman kita (dimensi sosial).

Begitu pun spirit dolls. Kalau secara dimensi fungsi, mungkin cuma jadi pajangan atau menemani pemiliknya biar gak kesepian. Tapi dari dimensi emosional dan sosial, fungsinya ya jelas banyak. Menyalurkan rasa sayang. Memberi kesenangan. Bisa dipamerkan, dikontenkan, dan membuat pemiliknya jadi pusat perhatian.

Minim Komitmen

Mereka-mereka yang berkata “Kenapa gak pelihara anjing atau adopsi anak aja sekalian?”, tentu gak paham JBTD. Jobsnya beda. Dimensi fungsional, emosional, dan sosialnya juga beda. Spirit dolls hanya tren sesaat yang tidak membutuhkan komitmen jangka panjang. Suatu saat trennya berlalu? Bosan? Gak mau ngurusin spirit dolls lagi? Ya bisa disimpan di gudang. Dikasih ke orang lain. Dibuang. Dijual. Kalau hewan atau anak kan, gak bisa. Ya bisa sih, tapi kriminal.

Tetap Berhati-hati

Meski demikian, kita tetap perlu memikirkan dampak buruk dari fenomena spirit doll ini. Khususnya terhadap pemiliknya. Baik mereka yang awalnya cuma lucu-lucuan dan berakting saja di depan kamera, pun mereka yang sedari awal meyakini sepenuhnya bahwa spirit dolls benar-benar bernyawa. Kebohongan yang diucapkan berulang kali dengan konsisten, lama-lama bisa menjadi “kebenaran” versi kita sendiri.

Terlalu sering berada di perbatasan dua dunia: nyata dan semu, bisa membuat kita kebingungan mana dunia nyata kita. Ini yang terjadi pada Mal di film Inception. Istri dari Cobb (Leonardo DiCaprio), yang bagi saya justru merupakan tokoh di Inception yang paling “masuk akal”. Terlalu sering bermain di perbatasan dunia nyata dan dunia ilusi, lama kelamaan Mal tidak bisa lagi membedakan mana dunia nyata. Akhirnya ia mengakhiri hidup di dunia nyata, yang ia yakini adalah dunia ilusi.

Ya, semoga saja kekhawatiran saya ini tidak menjadi kenyataan. Semoga ini hanya tren sesaat seperti fidget spinner atau jaket jeansnya Dilan. Semoga! Sekian tulisan saya kali ini, semoga bermanfaat.

Jakarta, 7 Januari 2022

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: