Metaverse is not the future. It’s here. It’s pathetic. It won’t change the world.
Sudah agak lama sebenarnya mau bahas tentang hype metaverse ini. Seringkali cuma saya singgung-singgung tipis saja di Instagram Story. Nah, mumpung ada waktu luang sedikit, saya coba bahas ya. Kenapa metaverse ini sebenarnya gak lebih dari strategi PR & Marketing yang brilian dari Facebook (sekarang Meta), juga kenapa metaverse might not be the future we want to arrive to.
Beberapa tahun belakangan ini, Facebook sudah dirundung masalah. Tuntutan hukum demi tuntutan hukum di berbagai negara kerap menghantam Facebook. Mark Zuckerberg pun sudah pernah dipanggil Senat AS terkait perlindungan data pribadi dan penyebaran disinformasi oleh pihak Rusia yang masif di Facebook.
Pada September 2021, The Wall Street Journal mulai mempublikasikan serentetan artikel berupa dokumen internal Facebook, dimana terdapat bukti yang jelas dan meyakinkan betapa busuknya manajemen dan petinggi perusahaan tersebut. Mulai dari memfasilitasi kejahatan dan kekerasan, mengamplifikasi hoax & disinformasi berbahaya, hingga betapa acuhnya manajemen saat riset internal menunjukkan media sosial mereka sangatlah berdampak buruk bagi remaja. Serial artikel ini dinamakan The Facebook Files.
Kala itu mayoritas media dan masyarakat satu suara: membahas The Facebook Files & implikasinya. Serta betapa jahatnya Zuck & para petinggi Facebook. Seri The Facebook Files pun sudah sampai ke jilid ke-8. Tiba-tiba, di akhir Oktober 2021, Zuck mengumumkan perubahan perusahaan. Dari Facebook ke Meta. Dan mengkampanyekan arah baru perusahaan ke depannya: Metaverse.
Ini strategi brilian. Sangat efektif. Media, techbros kemarin sore, sampai perusahan-perusahaan teknologi lain dan petinggi negara termakan strategi Zuck. The Facebook Files tenggelam begitu saja. Dan semua orang tiba-tiba membicarakan metaverse. Betapa serunya metaverse dan bagaimana metaverse adalah masa depan nan indah yang tidak terelakkan. Narasi dan pemberitaan akan Facebook pun berubah sedrastis itu dalam semalam.
Pertanyaan selanjutnya, apakah metaverse benar-benar masa depan nan indah, cerah, dan akan mengubah bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain secara masif? Gak juga. Ide akan semesta virtual 3 Dimensi komunal, dimana kita bisa hidup sebagai avatar yang beraktivitas dan berinteraksi di dalam dunia digital satu sama lain, bukan barang baru. Mereka yang bermain game sudah mengenal konsep ini sejak awal 2000-an dari permainan MMORPG atau The Sims. Atau Nintendo Wii yang sudah ada sejak tahun 2006. Yang beda ya nanti akan dikolaborasikan dengan Virtual Reality (VR) dan teknologi Web3 yang mengedepankan desentralisasi dan ekonomi berbasis token.
Ya, ini adalah teknologi yang akan mengubah dan membawa angin segar ke industri gaming. Tapi, apakah turut mengubah kehidupan kita di segala aspek lainnya? Tidak juga. Saya amat meragukan itu. Ada tiga alasan: (1) Dinamika human-computer interaction dan budaya; (2) It’s actually a downgrade; dan (3) Multiverse in metaverse. Mari kita bahas satu per satu.
Tembok tinggi pertama yang menanti metaverse adalah aspek budaya dan dinamika human-computer interaction. Manusia tidak tercipta untuk hidup di dunia digital. Ketika pandemi dan rapat virtual jadi keseharian saja, kita mengenal yang namanya Zoom Fatique. Dan kini, di saat melakukan Video Call sudah begitu mudah dan bagus kualitasnya, komunikasi primer antar manusia tetap berbasis teks, entah e-mail, WhatsApp, atau iMessage dan Telegram. The idea of being constantly connected & be seen is so off-putting.
Di level penggunaan teknologi saat ini saja, tidak sedikit dari kita yang butuh digital detox, decluttering, time-off, atau be off the grid completely. Tren ke depannya justru pengurangan screen time serta penyeimbangan kehidupan online/offline. Bukannya justru going all-in dan menggantikan semua jenis interaksi nyata kita ke bentuk virtual seperti yang ditawarkan metaverse.
Salah satu teori yang berguna dalam menganalisis dinamika human-computer interaction, adalah sebuah teori psikologi yang dikembangkan psikolog sosial Rusia bernama Aleksei Leontiev dan peneliti Finlandia bernama Yrjo Engestorm: activity theory.
Secara sederhana, teori ini mengedepankan perspektif sosiokultural dalam memandang bagaimana manusia beraktivitas. Dimana sebuah aktivitas manusia tidak bisa dilepaskan dari aspek internal dan sosialnya. Manusia (subject) selalu ingin mencapai satu tujuan (object) dengan menggunakan alat bantu teknologi (tools). Namun hidup tidaklah sesederhana itu. Ada aspek sosial dan kultural yakni rules, community, & division of labor. Dan semua hal ini, akan saling terkait dan tidak bisa terlepas satu sama lain.
Jadi, teknologi harus selalu ditempatkan sesuai proporsinya. Ia tidak lebih dari sekadar tools, yang memudahkan manusia untuk mencapai tujuannya. Bukan sebaliknya malah menjadikan teknologi sebagai tujuan (objectives), seperti yang sedang digaungkan pendengung metaverse.
Alasan kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, beralih ke metaverse adalah sebuah downgrade. Perkembangan pemprosesan grafis pada komputer atau konsol gaming, sudah di tahap yang sangat advanced. Di sebuah game, kita bisa melihat tato Messi atau tindikan di kuping Cristiano Ronaldo dengan sangat jelas. Sulit dibedakan dengan aslinya. Beralih ke Metaverse yang di tahap perkembangannya saat ini, seperti kembali bermain The Sims 1 di tahun 2000. Ibarat udah pakai iPhone 13, disuruh balik lagi pakai Blackberry Curve yang trackballnya udah kagak responsif. Lu suruh belok kiri dia malah mengcong kanan.
Alasan terakhir metaverse sulit terwujud, karena there will be a multiverse instead of a single metaverse. Tidak akan ada satu perusahaan yang memonopoli satu metaverse. Setiap perusahaan akan menciptakan metaverse-nya sendiri. Sama seperti media sosial, ada yang aktif di Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, atau Tiktok. Tidak ada satu platform dimana semua orang menjadi penggunanya. Akan ada banyak platform. Ide bahwa kita akan hidup di satu semesta metaverse yang mengkoneksikan semua manusia di bumi, ya cuma ada di film fiksi macam Ready Player One.
And it’s a good thing. The idea of a single universe controlled by a single corporation is too dangerous. Apalagi mempercayakannya ke perusahaan yang 99% pendapatannya berasal dari iklan seperti Facebook. Saat ini saja, Facebook sudah “menjual” data percakapan dan pencarian kita untuk menghasilkan iklan yang lebih relevan. Bayangkan jika nanti seluruh kehidupan dan pergerakan digital kita di Metaverse kita percayakan pada Facebook. Bagaimana kita bicara, berdiri, berjalan, hingga duduk bisa menjadi “data pribadi” yang dijual ke pengiklan.
Oke, sekian pembahasan saya terkait metaverse. Udah panjang banget ternyata. Intinya, metaverse is not the future. It’s here and it sucks. And it’s not gonna change how we live. Gak usah berlebihan dalam menjual metaverse. Dunia yang kita tinggali sekarang aja masih punya banyak permasalahan untuk kita selesaikan, kagak usah sok-sokan bikin dunia atau semesta baru segala. Kamu bukan Stephen Strange~
Jakarta, 4 Februari 2022.
More reading: