Belakangan isu perpanjangan masa jabatan presiden kembali ramai. Tak kurang dari pimpinan sejumlah partai dan ormas, menyatakan bahwa ini adalah aspirasi rakyat. Bahwa presiden masih begitu didukung dan dicintai rakyat, dan rakyat berkehendak agar Pak Jokowi terus menjabat sebagai presiden.
Tahun lalu, saat isu perpanjangan jabatan mulai mencuat, Pak Jokowi sendiri pada beberapa kesempatan menolak ide ini mentah-mentah. Tapi, sejumlah laporan belakangan menyebutkan bahwa bisa saja ini justru operasi senyap lingkaran dalam Istana. Terlepas dari siapa sutradaranya, atau apakah ini cuma akal-akalan elite politik untuk testing the water atau pengalihan isu, wacana ini sejatinya ketololan yang harus cepat-cepat dihentikan.
Otak Atik Konstitusi
Ya memang, konstitusi dan aturan hukum bisa diubah. Saat ini, tidak ada jalan bagi Pak Jokowi untuk terus berkuasa selepas 2024, namun jika konstitusi dan UUD diamandemen, apa pun bisa terjadi. Bangsatnya, ini bukan kali pertama elite politik mengubah aturan hukum demi mencapai tujuan mereka.
Saat ramai isu Rektor UI rangkap jabatan Komisaris BUMN, yang direvisi justru Statuta kampus agar larangan rangkap jabatan dihapus. Saat Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum, DPR justru bersiasat merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) yang jadi dasar pertimbangan MK dalam amar putusan, alih-alih menyempurnakan UU Cipta Kerja yang bermasalah.
Intinya, kalau petahana menerobos lampu merah, alih-alih ditilang, justru lampu merahnya yang dicat hijau. Kalau Ronaldo offside, wasitnya yang dijewer. Goblok, tapi apa daya, koalisi petahana menguasai parlemen tanpa oposisi berkualitas. Mereka yang jadi pemain, mereka juga yang jadi juru adil. Aturan menghambat? Ya diubah! Gitu aja koq repot.
Pertanyaannya, kalau begitu ya buat apa kita punya aturan dan perangkat hukum? Buat apa kita repot-repot meninggalkan Orde Baru dan memasuki masa reformasi, kalau hukum dan konstitusi bisa diubah sesuka elite politik?
Mengkambinghitamkan Pandemi
Nah, ini argumen yang lebih absurd lagi. Menggunakan pandemi sebagai alasan untuk memperpanjang masa jabatan. Karena banyak agenda dan rencana pemerintah yang terhambat pandemi, katanya. Kasarnya begini “Nih gara-gara pandemi kita gak bisa bikin gol, kasihlah injury time biar kita bisa bikin gol”.
Masalahnya, elu yang bertanggungjawab mengelola pandemi lho, bung. Elu yang punya mandat dan sumber daya buat bikin pandemi ini gak parah-parah amat. Tapi kan elu juga yang kagak becus-becus amat nanganin pandemi. Masa elu yang gak becus, elu juga yang dikasih hadiah injury time? Helaaaaaaw~
Biaya Pemilu Yang Mahal
“Kita sedang mengalami masa-masa sulit akibat pandemi, dan Pemilu akan memakan biaya yang mahal. Jadi, ditunda aja gimana?” Ehehe lawak lu ah! Pembangunan IKN yang gak murah itu aja jalan terus, kenapa tiba-tiba sekarang duit jadi alasan. Ya Pemilu emang mahal, siapa juga yang bilang murah? Yang murah mah tempe sama minyak goreng. Eh, kayaknya gak gitu juga, ya.
Intinya, bilang Pemilu mahal di saat banyak proyek strategis lain jalan terus itu ibarat lu ngaku gak punya duit buat lunasin hutang padahal Insta Story lu titik-titik kecil isinya Bali semua! Minta dibejek tau gak?
Kaderisasi Partai Yang Melempem
Tidak bisa dipungkiri, parpol yang ada saat ini tidak memiliki kader dan sosok yang elektabilitasnya tinggi-tinggi banget untuk memenangi Pilpres 2024. Kecuali Gerindra dengan Pak Prabowo. Ganjar, Anies, RK cukup electable, tapi tidak punya partai. Golkar dan PDIP udah sekuat tenaga jualan sosok untuk diusung di 2024, tapi ya apa daya kambing dibedakin pake MS Glow ya tetap kambing. Gak akan tiba-tiba jadi macan.
Ibaratnya, parpol-parpol yang gagal kaderisasi Capres untuk 2024, tapi kita yang disuruh nanggung konsekuensinya. “Monmaap nih kita blom bisa bikin lauk baru yang enak, udah deh lu pada lanjut makan lauk kemaren aja nih ya? Blom basi-basi banget koq.” Hadeh. Kalah lu pada sama Siskakol yang tiap minggu sanggup bikin produk baru.
Kehendak dan Aspirasi Rakyat
Bersembunyi di balik kalimat “kehendak atau aspirasi rakyat” ini culun bener. Sumpah. Pertama-tama, rakyat yang mana siiiiiik? Bahwa dukungan publik ke Pak Jokowi itu masih tinggi, mungkin benar. Tapi apakah publik juga menginginkan Jokowi lanjut 3 periode? Nanti dulu. Jangan melompat ambil kesimpulan begitu, dong. Cuma karena banyak yang suka, bukan berarti dia bisa jadi juara. Belajarlah dari Manchester United. Yang suka dan dukung mah banyak, tapi soal prestasi dan jaminan juara nanti dulu yaaaaaaaaa~
Lagian, parpol itu harusnya memberikan pendidikan politik. Apalagi parpol muda yang katanya diisi anak-anak muda terpelajar, kritis, dan progresif. Kalau malah ujug-ujug mendukung perpanjangan masa jabatan, ya tolol banget sih. Harusnya kalian itu di garda terdepan, jadi lokomotif politik yang memberikan edukasi ke masyarakat kenapa bermain-main dengan masa jabatan pemimpin tertinggi suatu negara itu berbahaya bagi demokrasi. Jelaskan apa faktor sejarah dan filosofis di balik pembatasan masa jabatan. Pffft.
Akhir kata, sudahi sajalah diskursus tolol dan tidak produktif seputar perpanjangan masa jabatan ini. Gak usah sok ide manjang-manjangin masa jabatan presiden. Situ bukan Mak Erot. Sadar diri dan jangan ngelunjak.
Jakarta, 4 Maret 2022
Okki Sutanto