Belum lama ini saya membaca kisah tentang Arlana Miller, seorang mahasiswi berprestasi di Amerika Serikat, yang bunuh diri dan meninggalkan pesan terakhirnya di media sosial. Banyak yang terkejut, karena ia nampak begitu ceria, bersemangat, berprestasi, dan baik-baik saja dalam kesehariannya. Padahal, ada juga lho kasus high-functioning depression, seperti kasus Chester Bennington, vokalis Linkin Park yang meninggal tahun 2017 lalu. Ini adalah tulisan saya kala itu, tahun 2017, menyoal depresi.
Yang sudah terkatakan tentang depresi tentu tidak sedikit. Bahwa depresi itu berbahaya. Bahwa ia bisa menyerang siapa saja. Dan depresi serta masalah mental lainnya tak ubahnya penyakit fisik seperti kanker, diabetes, pun tumor. Tapi masih banyak yang belum terkatakan akan depresi.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah bagaimana dahsyatnya ia membungkam setiap pikiran positif. Meredupkan tiap cercah cahaya. Menghancurkan tiap bongkah harapan. Membisukan setiap ucapan penyemangat pun nasehat yang mungkin niatnya baik.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah kesanggupannya membuat seseorang berharap setiap kali ia berangkat tidur adalah kali terakhirnya. Bahwa betapa nikmat jika ia tidak harus bangun lagi keesokan harinya. Menghadapi rutinitas yang minim arti. Kesia-siaan yang hampa. Kesakitan tanpa akhir. Kedukaan tak terperi yang sulit dipahami sekitar kita.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah bagaimana ia bisa membuat seseorang, sekuat apapun, seakan berdiri di tengah pasir hisap yang lambat namun pasti menenggelamkan sekujur tubuh. Dan membuat orang tersebut yakin bahwa apapun yang dilakukan tidak akan menolongnya. Tubuh, jiwa, dan pikiran ini, hanya akan makin terperosok jauh ke dasar terdalam.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah kemampuannya membutakan. Membutakan siapapun dari nilai positif dirinya sendiri. Dari segala prestasi dan pencapaian. Dari segala potensi dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Segala yang terlihat hanyalah diri sendiri yang tidak lebih dari sekadar beban. Bagi keluarga. Bagi masyarakat. Bagi dunia. Tidak lebih. Dan kadang hidup atau mati tak ada bedanya sama sekali.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah cengkramannya pada segala aspek kesejahteraan psikologis seseorang: penerimaan diri, kemandirian berpikir dan bertindak, perkembangan diri, kontrol akan lingkungan sekitar, relasi dengan orang lain, serta tujuan hidup. Ya, semua aspek psychological well-being itu hilang tak berbekas. Hancur lebur.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah kesanggupannya membuat seseorang menolak keberadaan dan eksistensi orang lain. Setiap pertemuan, percakapan, bahkan sebatas pemikiran akan kehadiran orang lain terasa begitu menyakitkan. Tidak ingin bertemu siapapun karena keberadaan orang lain akan terasa seperti pereduksian terhadap eksistensi diri sendiri. Orang lain sukses, sedang saya gagal. Orang lain lebih baik, sedang saya buruk. Orang lain bahagia, sedang saya tidak. Lebih baik saya jauh-jauh dari semua orang. Tidak ingin beranjak dari ranjang, dan berharap setiap kali mata ini terpejam adalah kali terakhir saya harus melihat dunia yang begitu kejam.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah bahwa kita tidak pernah dibekali untuk menghadapinya. Tidak ada sekolah, kurikulum, pun institusi pendidikan formal yang mengajarkan apa yang harus dilakukan saat kita mengalami depresi. Pun apa yang harus dilakukan saat menolong mereka yang depresi. Maka ucapan-ucapan normatif, nasehat-nasehat relijius, dan kalimat bijak yang tak menjejak akan senantiasa terucap. Dan mereka akan senantiasa tak berguna. Kita diajarkan bagaimana tatasurya bekerja, tanpa dibekali pengetahuan akan bagaimana diri sendiri berproses.
Yang tak terkatakan dari depresi adalah bahwa tidak ada langkah instan mengatasinya. Tidak ada kalimat ajaib yang bisa menyudahinya. Tidak ada doa spektakuler yang bisa mengakhirinya tiba-tiba. Butuh proses panjang. Butuh kerjasama berbagai pihak. Butuh lebih dari sekadar iman dan Tuhan.
Butuh keyakinan kuat, bahwa terowongan panjang nan gelap ini suatu saat akan berakhir. Bahwa kamu tidak sendiri. Bahwa kita berjalan bersama-sama di terowongan tanpa cahaya ini. Sebagian dari kita akan mencapai akhir, sebagian mungkin tidak. Namun ini bukan kontestasi kekuatan fisik pun mental. Yang mencapai ujung belum tentu lebih kuat. Yang terhenti di tengah jalan belum tentu lebih lemah. Karena meski terlihat sama, setiap orang memiliki perjuangan, peperangan, dan terowongan yang berbeda.
Siapa pun kamu. Dimana pun kamu. Berjuanglah!
Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tidak ada terowongan yang tak berujung. Genggamlah tangan-tangan yang mencoba membantu, jangan lepaskan mereka hanya karena mereka tidak tahu cara menolong kita. Mintalah bantuan profesional tanpa harus merasa malu, mereka ada dan bisa jadi membantu. Teruslah berkarya dan produktif, sekecil apa pun itu. Tetap bergerak dan berlari, meski terasa seperti lari di tempat. Bersabarlah, jangan memutuskan sesuatu dengan terburu. Semesta punya cara dan waktunya sendiri.
Jakarta, 26 Juli 2017
Okki Sutanto