On First Principles Thinking

or how this mental model helps me think better, deeper, & faster.

Jika saya harus merekomendasikan satu mental model yang wajib banget diketahui sebanyak-banyaknya orang, tanpa ragu saya akan menjawab: first principles thinking (FPT).

First principles thinking kerap membantu saya untuk berpikir lebih tajam dan mendalam, memahami hal baru dengan lebih cepat, seeing through the bullshits in everything, melihat solusi-solusi baru dari sebuah masalah, juga meningkatkan kemampuan ghibah dan julid saya hingga 300%. Yang terakhir, bercanda lho ya. Yang betul itu 500%.

Sebenarnya saya sudah beberapa kali membahas FPT di beberapa kesempatan, baik di podcast pun tulisan. Biasanya sekilas-sekilas aja sih. Singkat-singkat doang kayak usia pacarannya Taylor Swift. Nah, kali ini saya mau membahasnya sedikit lebih panjang dan mendalam. Siapa tahu bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Kerangka berpikir atau mental model ini sebenarnya bukan barang baru. Aristoteles dari ribuan tahun lalu juga udah pernah ngomong hal yang intinya sama soal cara terbaik mendapatkan pengetahuan: “the very first basis from which a thing is known. Untuk mengejar fondasi dan prinsip utama dari suatu hal, alih-alih berhenti di asumsi umum dan tataran permukaan saja.

Contohnya gini. Ketika ada orang yang bilang “Kita tuh harus segera beralih ke kendaraan listrik!”. Alih-alih menerima begitu saja asumsi tersebut, ada baiknya kita break down lebih dalam. “Kenapa sih, harus ke kendaraan listrik?” Oh, ternyata bahan bakar minyak itu sumber energi yang kurang baik untuk lingkungan. Dan kita harus peduli sama lingkungan dan bumi yang sedang tidak baik-baik saja ini. Lalu, apakah solusinya CUMA kendaraan listrik?

Kalau masalah utamanya adalah kelestarian lingkungan, jangan-jangan solusinya ada banyak? Transportasi umum. Menghindari commuting. Bike to work. Mendesak pemerintah segera beralih ke sumber energi ramah lingkungan macam tenaga surya, angin, dan nuklir? Karena toh Pembangkit listrik kita saat ini aja mayoritas masih pake batu bara, apa gunanya beralih ke kendaraan listrik kalau PLN-nya masih bergantung sama batu bara? Wong sama-sama gak bagus buat lingkungan.

Nah, kurang lebih begitu. First principles thinking mengajak kita untuk memetakan masalah hingga ke elemen-elemen mendasar dan fundamentalnya, hingga kita tahu akar masalah lantas bisa menyusun ulang solusinya dari nol. Singkatnya: mempertanyakan asumsi dan mengejar esensi.

First principles thinking banyak digunakan oleh para pemikir dan pebisnis hebat. Dari Richard Feynman sang fisikawan legendaris, Charlie Munger, Jeff Bezos, sampai Elon Musk. Ketiganya pebisnis handal di bidangnya masing-masing, yang dikenal cerdas dan inovatif.

Elon Musk menggunakan FPT dalam membangun bisnis-bisnisnya. Di Space X, Musk mematahkan asumsi-asumsi dan kepercayaan bahwa perjalanan luar angkasa adalah bisnis yang mahal dan mustahil dilakukan perusahaan swasta. Ia memulainya dengan bertanya, “Emang apa sih yang dibutuhin buat ngeluncurin roket dan pesawat ulang alik ke luar angkasa?”, Oh, ternyata bahan baku membuat roket gak semahal itu koq. “Lah kalo gitu kenapa selama ini mahal banget?” Oh, ternyata selama ini banyak komponen-komponennya itu cuma dipake sekali doang. Oh, ternyata kompetisi di bisnis perjalanan luar angkasa selama ini dimonopoli segelintir perusahaan doang yang bikin industrinya jadi gak sehat.

Musk membongkar asumsi-asumsi di atas dan mempertanyakan hal-hal yang selama ini sudah dipercayai begitu saja oleh kebanyakan orang. Space X pun berhasil memangkas biaya peluncuran roket dan perjalanan luar angkasa hingga sepersepuluhnya saja. SEPERSEPULUH! Kini, Space X sudah menjadi perusahaan yang dipercaya oleh NASA dan begitu banyak negara untuk mengirim satelit dan kargo lainnya ke luar angkasa.

Begitu juga ketika membangun Tesla dan industri baterainya. Musk membongkar asumsi bahwa baterai pack untuk kendaraan pribadi memang mahal dan akan selalu mahal. Ia pun bertanya “Apa sih bahan yang dibutuhkan untuk membuat baterai? Berapa harga pasarannya?” Ternyata, tidak semahal itu lho. Ada ruang untuk berinovasi dengan teknologinya. Yang penting, prinsip-prinsip utama fisikanya soal energi tidak dilanggar. Hal ini lantas sukses membantunya mengembangkan Tesla menjadi produsen kendaraan listrik terbesar di dunia.

Bezos menggunakan FPT untuk membantu Amazon fokus pada hal-hal yang esensial dan akan selalu dicari masyakat: harga yang murah, pengiriman yang cepat, dan pilihan yang banyak. Everything else is secondary. Hal ini memudahkannya membuat rencana-rencana jangka panjang dan menjadikan Amazon salah satu perusahaan terbesar saat ini. Charlie Munger, pebisnis hebat dan rekan kepercayaan Warren Buffett di Berkshire Hathaway, juga meyakini bahwa first principle thinking adalah salah satu hal yang membantunya dalam decision-making. Dan menjadikan Berkshire Hathaway sebagai salah satu perusahaan paling menguntungkan di Amerika Serikat.

Penggunaan first principles thinking tidak terbatas pada urusan bisnis saja. Sebagai mental model, ia bisa dipakai dalam beragam aspek kehidupan. Andai para politisi dan pejabat negara menggunakan FPT dalam merumuskan kebijakan dan menyelesaikan masalah, saya yakin tidak akan banyak solusi-solusi tolol yang keluar semacam “Minyak goreng susah, ya direbus aja” atau “Oh banyak CPNS yang mundur? Kita denda aja.”

Solusi-solusi semacam ini menunjukkan betapa rendahnya pemahaman mereka atas permasalahan dan akar masalahnya. Ibarat ada bocor di rumah, alih-alih membetulkan genteng yang rusak (akar masalah), yang dilakukan cuma mengambil ember untuk menampung tetesan airnya (gejala). Ya bener sih gak kemana-mana airnya, tapi masalahnya kagak selesai juga.

Menjadikan FPT sebagai kebiasaan memang tidak mudah. Kita sudah terbiasa dan nyaman untuk berpikir cepat, otomatis, dan mudah, sedangkan FPT butuh usaha dan waktu ekstra. Perlu keberanian mempertanyakan asumsi dan mencari akar masalah. Tapi, ketika kita sudah terbiasa, percayalah FPT akan sangat membantu kita melihat permasalahan dengan lebih jernih, tidak terjebak paradigma usang dan mitos yang belum tentu benar, serta sanggup melihat solusi-solusi baru dan kreatif. Ya dalam urusan bisnis, hidup, investasi, parenting, dan segala hal yang butuh mikir.

“Semua orang tuh harus investasi sedari muda!”

“Kerja kantoran ya harus 9-5 dan 5 hari kerja!”

“Beli properti tuh gak bakal rugi!”

“Makin cepat anak disekolahin tuh makin bagus.”

“Metaverse is the future!”

Sering dengar asumsi-asumsi di atas? Atau sudah kamu terima begitu saja?

Nah, coba deh kita mulai mempertanyakan setiap asumsi yang ada. Jangan main terima begitu saja. Jangan-jangan, asumsi itu belum tentu benar. Jangan-jangan, apa yang diyakini oleh kebanyakan orang itu belum tentu sebuah kebenaran absolut. Bisa jadi, ada solusi-solusi baru yang bisa kita temukan, untuk memudahkan hidup.

Sekian dulu tulisan kali ini. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 18 Juni 2022

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: