Sudah terlalu banyak kejahatan berbungkus agama yang dicatat oleh sejarah. Gak ustad bangsat gak pendeta ngehe. Di Indonesia, belum lama ada petinggi pesantren yang memperkosa belasan santri. Di Amerika, kebangsatan serupa oleh gereja sesat bisa disaksikan di sebuah dokumenter Netflix. Keep Sweet: Pray & Obey. Baru-baru ini juga ramai berita soal lembaga kemanusiaan berbasis agama. Yang ternyata penuh penyelewengan dan petingginya hidup bergelimang harta.
Kita tidak pernah kekurangan tokoh agama yang hidupnya sebelas dua belas sama kriminal. Tokoh agama yang menjual investasi bodong dengan menjanjikan surga? Ada. Tokoh agama yang cabul dan predator seks? Banyak. Tokoh agama yang hobinya menyulut kebencian dan perpecahan? Oh banyak sekali.
Kenapa ini terus terjadi? Kenapa cerita serupa akan senantiasa terulang? Mari kita coba bahas.
It’s in human nature. Mungkin klise kalau saya berkata bahwa manusia itu tempatnya salah dan dosa. Bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Tapi, memang itu kenyataannya. Semua orang tahu ini. Tapi, banyak dari kita yang memilih untuk percaya pada mitos dan mimpi sesat. Bahwa ada manusia-manusia terpilih yang bisa melanggar hukum dasar dari sifat manusia tadi. Bahwa ada manusia-manusia setengah dewa yang perlu diderajatkan lebih dari manusia lainnya.
Sayangnya itu cuma ilusi yang lebih sering membawa petaka.
Kita tentu sering mendengar soal “Harta, Takhta, dan Wanita”. Sebuah keyakinan bahwa tiga hal inilah yang sering melempar manusia ke jurang dosa. Dan keyakinan serupa ditemukan tidak hanya di kebudayaan kita. Dari peradaban Yunani sampai Jawa. Dari Cina Kuno sampai dunia politik kontemporer Amerika Serikat. Kisah-kisah yang tidak jauh dari “Harta, Takhta, dan Wanita” akan selalu ada. Soal kejatuhan orang hebat karena gila harta, jabatan, dan wanita (atau pria, biar gak seksis).
Dan ini juga terjelaskan secara ilmiah. Teori McClelland soal motivasi manusia, misalnya. Menempatkan achievement, power, and affiliation sebagai pendorong utama manusia hidup. Tiga hal yang begitu paralel dengan harta, takhta, dan wanita.
Pun teori-teori psikologi lain mulai dari Freud sampai piramida kebutuhannya Maslow. Semua sebenarnya menjelaskan hal yang mirip-mirip. Bahwa manusia, sejatinya tidak akan jauh-jauh dari urusan pemenuhan hasrat instingtifnya. Ya kebutuhan fisiologis. Ya keamanan. Ya aspek sosial untuk dihargai.
Hal ini diperparah lagi dengan star syndrome. Orang-orang yang memiliki banyak penggemar, pengikut, dan merasa dirinya istimewa dibanding manusia lainnya. Jadi bebas berbuat apa saja. Fenomena ini amat mudah dijumpai di Indonesia terlebih di era media sosial sekarang.
Mudahnya orang menjadi terkenal membuat egonya berkembang tanpa terbendung. Dan banyaknya pendukung dan pembela membuat kebangsatan orang ini akan makin sulit dikontrol. Padahal Lord Acton udah pernah bilang, kan. All power corrupts, absolute power corrupts absolutely. Maka jangan heran melihat kelakuan aneh-aneh influencer, pesohor, dan orang-orang dengan pengikut banyak.
Di beberapa kesempatan saya sudah sering menuliskan. Mari berhenti mengkultuskan manusia. Mau itu tokoh politik, tokoh agama, guru, pengusaha, atau aktivis dan pekerja kemanusiaan. Mereka cuma manusia biasa, yang suatu saat akan berbuat salah. Kita hormati dan hargai mereka, sebagaimana kita menghormati dan menghargai manusia lain.
Kita terima dan pelajari hal-hal baik yang mereka sampaikan. Tapi tak perlu, menganggap mereka sebagai manusia setengah dewa yang tanpa cela. Apresiasi saat mereka berbuat baik. Kritik dan lawan saat mereka berbuat bangsat. Sesederhana itu.
Belajar menjaga jarak dengan orang lain, sehingga kita bisa objektif dan mengkritik tanpa sungkan. Belajar memposisikan diri setara dengan orang lain. Tidak perlu menganggap ada manusia-manusia spesial yang derajatnya lebih tinggi dibanding manusia lainnya. Semua sama koq, di mata Tuhan.
Selama kita masih melanggengkan pengkultusan, dengan memuja-muja tokoh tertentu secara berlebihan, ya jangan heran suatu saat kasus-kasus serupa akan terulang lagi. Kecewa itu wajar. Tapi dikecewakan berkali-kali ya goblok namanya. Masa iya gak bosen-bosen jadi orang goblok.
Sekian dulu tulisan kali ini. Semoga bermanfaat! Sampai jumpa di tulisan-tulisan berikutnya.
Jakarta, 7 Juli 2022