Menjadi Palugada atau Si Kacamata Kuda

Belum lama ini ada artikel menarik dari The Conversation. Soal perlukah peneliti sains-teknologi (saintek) belajar ilmu sosial dan humaniora (sos-hum), dan sebaliknya. Atau dalam skala yang lebih luas, is it important to have some range? Atau justru kecenderungan saat ini sudah benar, dimana seorang akademisi cukup mendalami bidang ilmunya saja?

Saya cenderung ke yang pertama. Saya sudah melihat terlalu banyak ilmuwan berkacamata kuda yang gagal melihat masalah dari perspektif lain. Yang akhirnya cuma ngebacot di ruang gema dan menara gadingnya sendiri tanpa pernah benar-benar menyelesaikan masalah nyata. Atau bahasa lebih sopannya: fafifu wasweswos doang.

Saya jadi ingat salah satu kalimat menohok dari dosen pas kuliah dulu. “Psikologi tanpa ilmu lain itu….kosong!”, sambil menunjukkan buku Freakonomics yang lagi dia baca. Psikologi tanpa dibarengi ilmu lain gak akan banyak berguna. Memahami manusia tanpa pemahaman ajeg soal bagaimana dunia bekerja akan sia-sia. Pelajarilah sejarah. Ekonomi. Teknologi. Dan lainnya.

Saat itu saya belum sepenuhnya paham maksud beliau. Saya kira itu cuma justifikasi sang dosen aja yang emang hobi baca. Tapi, semakin ke sini, saya semakin menyadari nilai kebenaran yang terkandung dari pernyataan di atas.

Sering banget, saya melihat orang-orang pinter yang suka banget pakai kacamata kuda. Melihat satu masalah hanya dari perspektif ilmu atau bidangnya saja. Abai, bahwa suatu masalah itu bisa jadi kompleks, multidimensional, dan multidisiplin.

Ada profesor yang setiap masalah ya dianggap sebagai konflik antar kelas dan penindasan terhadap proletar. Ada pakar investasi yang melihat setiap masalah gak lebih dari ketidakmampuan seseorang mengelola uang dan berinvestasi. Ada praktisi psikologi yang memandang setiap masalah dalam hidup itu gak jauh-jauh dari isu inner child. Dan seterusnya, you get the idea.

Ini tentu tolol dan berbahaya.

Tolol, karena jarang banget satu masalah cukup dipandang dari satu perspektif saja. Manusia dan segala permasalahannya itu kompleks. Tidak bisa dikotakkan di satu bidang keilmuan atau perspektif saja. Kemiskinan misalnya, tidak melulu karena seseorang itu malas dan enggan berusaha. Bisa jadi ada faktor lingkungan yang mungkin mempengaruhi ruang gerak dan cara berpikir seseorang. Atau faktor struktural yang membatasi akses seseorang terhadap kehidupan yang lebih baik. Model ekosistem yang dikembangkan Bronfenbrenner bisa menjadi acuan untuk melihat sebuah masalah dengan lebih komprehensif.

Selain tolol, kecenderungan kacamata kuda tadi juga berbahaya. Pertama, karena merasa dirinya yang paling benar. Wajar sih, mereka sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar satu bidang itu lho. Gak jarang sampai jadi doktor atau profesor. Atau jadi pakar yang sering diundang kesana kemari jadi narasumber. Sayangnya, tak jarang hal ini malah membuat mereka enggan melihat perspektif lain. Meyakini ilmunya sudah paling benar dan semua yang di luar sana tersesat. Persis Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II yang percaya bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja.

Akhirnya, mereka menutup diri akan perspektif lain. Pendapat dan opini yang berbeda dianggap tak lebih dari suara bising yang salah. Solusi yang komprehensif dan multidisiplin dari sebuah masalah pun gagal muncul. Karena masing-masing ngotot dengan pendekatannya sendiri.

“When your only tool is a hammer, everything looks like a nail” kalau kata law of the instrumentnya Maslow & Kaplan. Ya, benar sekali. Kalau senjatamu cuma palu, ya semua masalah akan nampak seperti paku yang perlu dipukul sampai rata. Padahal, gak semua masalah selesai dengan dipukul. Ada yang selesainya dengan disayang, koq. hehe..

Segala permasalahan besar yang dihadapi dunia saat ini ya kompleks. Krisis iklim dan energi, misalnya. Kalau cuma dipandang dari keilmuan lingkungan, ya mungkin solusinya jelas. Hentikan energi fosil. Gunakan energi terbarukan. Beralih ke transportasi umum. Lindungi hutan dan lautan. Tapi, tentu kenyataannya tidak semudah itu. Ada perspektif ekonomi, sosial, politik, hingga keterbatasan teknologi yang membuat transisi tidak mudah. Memaksakan satu perspektif saja, bisa jadi malah kontraproduktif.

It’s really important to have some range! Memiliki kemauan dan kemampuan untuk memahami beragam bidang dan perspektif itu penting. Tidak hanya bagi ilmuwan. Bagi kita untuk kehidupan sehari-hari pun, ada banyak lho manfaatnya. Ini juga dijelaskan banget di bukunya David Epstein berjudul Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World. Memiliki spektrum luas dan beragam itu gak pernah salah. Mau kamu ilmuwan, olahragawan, pekerja seni, politisi, bahkan orang awam sekalipun. Hal ini membantu kita berpikir lebih luas, kreatif, dan komprehensif.

Satu hal lagi yang jarang saya temui di banyak ilmuwan atau pakar dalam negri adalah intellectual humility. Sebuah kesadaran akan batasan dan kelemahan diri sendiri. Kerendahhatian untuk menyadari bahwa ada kebenaran di luar saya. Kemauan untuk mengejar apa yang benar, bukan sekadar menjadi si paling benar.

Tidak mudah memang. Sedari kecil kita sudah dibiasakan untuk berkompetisi menjadi si paling benar. Ya nilai ulangan, sistem ranking, hingga perlombaan dan kejuaraan. Dan untuk menjadi si paling benar, umumnya kita harus membuktikan diri bahwa orang lain tidak benar-benar amat. Menciptakan jarak, bahwa kita benar dan yang lain salah. Padahal, saling dukung menuju kebenaran juga tidak ada salahnya.

Jadi, jika saya harus memilih antara menjadi palugada (apa lu mau gua ada) atau si kacamata kuda, saya cenderung yang pertama. Palugada lebih fleksibel dan adaptif. Bisa melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Punya beragam tools dan bisa menawarkan solusi yang lebih komprehensif.

Kamu mau menjadi orang yang fokus di satu bidang juga gak masalah, sih. Dunia akan selalu membutuhkan pakar-pakar yang menguasai satu bidang dari A sampai Z. Menjadi seorang generalis atau spesialis tetap punya keuntungannya sendiri. Yang terpenting, jangan merasa jadi yang paling benar. Yang kita butuhkan kolaborasi, bukan kompetisi. Ngapain jadi yang paling benar kalau kita bisa benar bersama-sama.

Jakarta, 30 Juli 2022

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: