Menjadi Teman Brengsek atau Melindungi Teman Brengsek?

Kesan menutupi kasus dan melindungi sesama aparat begitu kental dalam kasus adu tembak antar polisi. Sebenarnya, hal ini sering terjadi. Tak hanya di kepolisian atau militer yang kental dengan jiwa korsanya. Dalam kasus pesantren di Jombang, keinginan melindungi sang predator seksual begitu kuat hingga polisi pun dilawan. Dalam kasus pelecehan seksual di gereja, tak jarang gereja sebagai institusi juga begitu melindungi pendetanya.

Begitu sering dinamika serupa ditemukan. Ketika teman kita melakukan kesalahan, kita enggan untuk menegur apalagi beraksi keras. Bahkan cenderung melindungi. Seakan jika kita tidak melindungi sang teman, kita otomatis menjadi teman yang brengsek. Kita diharapkan tutup mata dan bahkan melindungi teman kita, sebrengsek dan sebangsat apapun mereka.

Apa dinamika yang terjadi? Bagaimana kita menyikapinya? Jika kita dihadapkan antara pilihan menjadi teman brengsek atau melindungi teman brengsek, mana yang akan kita pilih? Mari kita coba bahas.

Fenomena serupa tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, bahkan ada istilah blue wall of silence. Dimana sesama aparat penegak hukum terikat suatu aturan tak tertulis untuk saling setia dan melindungi. Tidak mengadukan, melaporkan, apalagi sampai bersaksi di pengadilan tentang perilaku bangsat antar sesama aparat. Ini yang membuat pengusutan police brutality tidak mudah di Amerika Serikat, bahkan setelah ada kebijakan body cam di rompi para polisi yang bertugas. Mereka akan diam. In total silence. Melanggengkan segala kebrengsekan yang terjadi.

Hal ini yang membuat kita tidak akan pernah kehabisan cerita dan berita tentang kebrengsekan aparat. Baik di luar pun dalam negri. Dari memukuli orang tanpa proses peradilan. Jualan ganja. Jadi beking cukong. Pelaku kekerasan seksual. Sampai pembunuhan dan korupsi. Cari saja tagar #PercumaLaporPolisi kalau mau tahu beragam kasus kebrengsekan aparat.

Hal ini sebenarnya dijelaskan dengan baik dalam buku Mistakes Were Made-nya Tavris & Aronson, dua pakar psikologi sosial. Mengapa justru di dalam organisasi yang seharusnya menegakkan hukum, pelanggaran hukum malah marak terjadi. Berlindung di balik kata “oknum” tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ada masalah sistemik dan kultur yang perlu diubah.

DISONANSI KOGNITIF

Otak manusia sulit bekerja jika terjadi disonansi. Jika terjadi inkongruensi. Saat dua atau lebih konsep atau keyakinan bertabrakan. Konflik mental ketika ada perbedaan antara yang saya yakini dan apa yang saya perbuat. Misalnya ketika saya tahu menerobos lampu merah adalah tindakan melanggar hukum, tapi di saat yang sama saya malah melakukannya. Saya tahu itu salah, tapi tetap saya lakukan. Muncullah disonansi kognitif di otak. “Duh ada yang gak beres, nih”.

Akhirnya, saya melakukan beberapa hal. Otak dan moral saya terganggu jika saya tidak mengelola disonansi kognitif ini. Saya akan mencari pembenaran. “Ah, banyak koq yang melakukannya”, atau “Sekali-sekali doang, gak ada yang dirugiin”. Atau bisa jadi saya justru mengubah keyakinan saya sebelumnya. “Nerobos lampu merah tuh gak salah, peraturannya aja yang tolol”.

Nah, beres deh masalah. Gak ada lagi disonansi kognitif. Saya bisa tidur dengan nyenyak. Hidup dengan tenang.

Hal serupa terjadi dalam konteks polisi dan institusi lainnya. Kita begitu terbiasa mencari pembenaran: “Semua butuh makan bro, persetan dengan slogan dan nilai-nilai retoris profesi saya ini!”

Perlahan tapi pasti, kita mengubah keyakinan: “Semua rekan saya di institusi juga melakukannya, pasti ini satu-satunya jalan menuju kebenaran!”

Lama-lama, kita tidak tahu lagi batasan mana yang benar dan salah. Lama-lama, kompas moral kita rusak total.

CONFIRMATION BIAS

Konsep lain yang melanggengkan kebrengsekan dan memfasilitasi terwujudnya organisasi brengsek adalah confirmation bias. Sebuah kecenderungan yang kita miliki untuk menyaring hanya hal-hal atau bukti-bukti yang sejalan saja dengan keyakinan kita. Dan menyaring atau menolak yang tak sejalan.

Ketika ada berita tentang kesuksesan dan kebaikan polisi, seorang anggota akan makin yakin bahwa profesinya baik dan mulia. “Tuh kan, kita gokil banget abis nangkep maling celana dalem!” atau “Coba kalau gak ada kita, semrawut itu jalanan!” atau “Damai deh Indonesia, semua teroris kita tangkepin!”

Sebaliknya, jika ada berita buruk, ia akan meremehkan dan menolaknya. Ah, cuma oknum. Ah, konspirasi doang untuk menjatuhkan citra polisi. Ah, gak denger~

PYRAMID OF CHOICE

Seseorang tidak tiba-tiba menjadi pendeta paling brengsek atau polisi paling korup. Biasanya, ada proses akumulasi dari pilihan-pilihan sebelumnya yang makin lama makin tereskalasi. Sebagaimana digambarkan ilustrasi berikut.

Pyramid Of Choice

Bisa jadi, awalnya kita adalah pribadi yang baik-baik saja di pucuk piramida. Namun satu keputusan kecil demi satu keputusan kecil bisa membawa kita ke arah yang begitu berbeda. Ah, cuma dapet sogokan dari warga. Ah, cuma gebukin aktivis doang. Ah, cuma bantuin pemilik bisnis karaoke esek-esek mengamankan daerahnya doang. Ah, cuma disogok ratusan juta doang. Ah, cuma ngebunuh doang. Terus menuruni piramida satu per satu anak tangga.

Tanpa kita sadari, kita tiba-tiba sudah berada di jurang kekelaman terdalam. Titik paling ekstrim, tanpa ada lagi jalan untuk kembali. Dan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup, ya makin turun ke bawah.

LANTAS BAGAIMANA?

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama-tama, mengakui bahwa adanya masalah. Langkah pertama menuju solusi ya dengan mengakui masalah. Selama kita bersembunyi di balik kata “oknum”, ya tidak akan pernah selesai.

Kedua, senantiasa kedepankan akuntabilitas! Bangun sistem yang memudahkan pertanggungjawaban setiap individu. Banyak aparat bertindak semena-mena? Pasang CCTV dan body cam, permudah akses jurnalis dan lindungi kerja jurnalistik mereka, jangan malah mempersekusi jurnalis atau warga yang melaporkan kesemena-menaan.

Ketiga, bangun sistem whistleblowing yang mumpuni, termasuk perlindungan saksi dan pelapor. Yang memudahkan aparat untuk melaporkan tindakan brengsek koleganya. Sehingga bisa menindak yang tidak benar. Hadiahi yang benar, hukum yang salah. Jangan sebaliknya.

Keempat, buang semua ego dan pencitraan institusi. Pencitraan yang bagus tidak akan menyelesaikan apa-apa. Dikenal sebagai gereja yang megah tapi kelakuan pendetanya brengsek buat apa? Dikenal sebagai institusi yang PRESISI tapi sebatas ILUSI tidak ada gunanya.

Di tataran personal, biasakan untuk sekali-kali menjadi teman yang “brengsek”. Jika kamu dianggap brengsek karena tidak melindungi kelakuan kolegamu yang lebih dari brengsek, ya gak masalah.

Bentuk rasa sayang terbaik, kadangkala dalam bentuk kritik dan teguran keras. Orangtua yang selalu membiarkan anaknya melakukan apa saja tanpa pernah dimarahi, hanya akan menciptakan anak-anak manja yang tidak tahu diri.

Sekian tulisan kali ini. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 5 Agustus 2022

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: