Pelajaran Dari Kasus Polisi Tembak Polisi

Sudah lebih dari sebulan publik disuguhi kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang tak kunjung usai. Kasus yang direkayasa. Jenderal yang mendalanginya. Polisi muda yang dikorbankan. Hingga perjuangan keluarga dan pengacaranya yang tanpa lelah menuntut kebenaran.

Kasus ini tentu masih jauh dari selesai. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Masih banyak pengembangan yang dinantikan publik. Tapi, bagi saya ada sejumlah hal yang bisa kita pelajari bersama dari kasus ini.

APPEAL TO AUTHORITY

Salah satu bias atau fallacy dalam berargumentasi adalah appeal to authority. Dimana kita percaya begitu saja akan apa yang dikatakan oleh otoritas. Otoritas bisa figur atau institusi. Bisa pernyataan resmi pemerintah. Bisa keterangan kepolisian. Atau pihak lainnya yang memiliki wewenang atau jabatan. Kenapa percaya begitu saja pada pernyataan otoritas merupakan sebuah fallacy? Ya karena belum tentu benar.

Kasus ini harusnya bisa menjadi pelajaran bersama bahwa tidak selamanya kita bisa mempercayai pernyataan aparat atau pemerintah. Otoritas tentu memiliki kepentingannya sendiri untuk menyampaikan kebenaran versi mereka. Belum lagi otoritas belum tentu terbebas dari oknum-oknum nakal (dalam kasus pembunuhan Brigadir J, oknumnya aja udah lebih dari sekompi).

Maka lucu sekali jika seorang menteri pernah berkata “Kalau menurut versi pemerintah itu hoaks, ya itu hoaks,” di tayangan Mata Najwa beberapa waktu lalu.

PENTINGNYA PERAN MEDIA & KERJA JURNALISTIK

Di sinilah pentingnya peran media dan kerja jurnalistiknya sebagai pilar penting negara demokratis. Untuk tidak sekadar menjadi corong otoritas dalam memberitakan sesuatu, tapi disiplin melakukan verifikasi dan tidak lelah menggali kebenaran. Inilah kenapa kita harus senantiasa mendukung jurnalisme berkualitas. Bosan melihat berita-berita yang clickbait dan mendewakan traffic semata? Ya carilah media yang menurutmu tidak demikian lalu dukunglah mereka.

Bisa dengan berlangganan publikasi mereka. Beli koran atau majalah mereka. Jadi pelanggan digital mereka. Subscribe kanal media sosial mereka. Atau baca dan bagikan karya jurnalistik mereka. Media berkualitas butuh pembaca dan uang untuk bisa hidup dan mempertahankan kualitas mereka. Tanpa dukungan dari kita sebagai masyarakatnya, ya sulit bagi mereka untuk bertahan.

Tanpa kerja pers yang gigih, sulit membayangkan kasus Brigadir Yosua bisa terang benderang seperti saat ini. Verifikasi data lapangan. Investigasi ke berbagai sumber. Terus memberitakan perkembangan dan kejanggalan kasus ini. Tidak puas pada pernyataan resmi yang dikeluarkan otoritas.

Percaya pada pemerintah ya sah-sah saja. Tapi tidak berarti kita harus percaya buta. Jika ada yang janggal, tidak masuk akal, atau berlawanan dengan kebenaran, ya wajib dipertanyakan. Di sinilah peran media menjadi begitu penting. Dan ia tidak akan pernah bisa digantikan oleh seleb-seleb dengan platform besar di media sosial atau Youtube.

Maka tidak perlu heran kenapa pejabat dan petinggi negara begitu rajin mampir ke sebuah podkes om-om botak paruh baya. Di sana mereka bebas menyampaikan kebenaran versi mereka sendiri tanpa perlu takut diverifikasi dan dikritisi secara proporsional. Ya wajar sih, kan bukan kerja jurnalistik.

TIDAK MUDAH MEMBANGUN ORGANISASI SEHAT

Pelajaran lainnya dari kasus ini adalah sulitnya membangun sebuah organisasi yang sehat. Membangun kohesivitas kelompok itu penting, tapi jika sudah menjelma menjadi jiwa korsa yang terlalu tinggi ternyata tidak sehat juga. Kita akan cenderung melindungi teman-teman sejawat, dan akhirnya menutup-nutupi kebusukan organisasi kita.

Belum lagi bahaya groupthink dalam suatu organisasi. Groupthink adalah pengambilan keputusan kelompok yang cenderung “tolol” dan bertentangan dengan logika publik semata demi kenyamanan kelompok. Ini sering terjadi saat organisasi sudah terlalu homogen, menutup diri terhadap perbedaan, juga mengedepankan harmoni hingga menutup ruang terhadap perdebatan.

Dan masih banyak dinamika psikologis lainnya yang membuat suatu organisasi bisa menjadi busuk. Mulai dari disonansi kognitif, confirmation bias, hingga pyramid of choice. Pembahasan lebih lanjut soal ini ada di tulisan saya sebelumnya.

MINORITY INFLUENCE

Selain kerja jurnalistik yang tentu berkontribusi besar dalam kasus ini, peran keluarga Brigadir Yosua dan pengacaranya juga penting. Sang pengacara, Kamaruddin Simanjuntak, yang begitu gigih bersuara dan mengejar kebenaran patut diapresiasi. Sejak awal pihak keluarga dan pengacara terus menyampaikan sejumlah kejanggalan kasus dan fakta-fakta yang bertentangan dengan keterangan resmi otoritas. Yang satu per satu perlahan terbukti kebenarannya.

Hal ini mengingatkan saya akan konsep minority influence yang pernah disampaikan Moscovici. Bahwa kelompok minoritas pun bisa “menang” dan mempengaruhi mayoritas, selama ia konsisten dan gigih melawan tekanan kelompok.

Pengaruh mayoritas umumnya terjadi melalui normative social influence, yang mengandalkan angka dan tekanan kelompok. “Ini 90% orang udah gabung sama kita koq, udah lu ikutan aja!”

Sebaliknya, pengaruh minoritas bisa terjadi melalui informational social influence. Dengan menyampaikan ide-ide baru, informasi baru, dan fakta-fakta baru yang membuat kelompok mayoritas mempertanyakan ulang keyakinan mereka. Persis yang dilakukan oleh pengacara keluarga Brigadir Yosua.

PERAN PARTISIPASI PUBLIK

Kasus ini juga lagi-lagi menjadi bukti masih terjadinya fenomena “NO VIRAL NO JUSTICE”. Bahwa kepolisian dan pemerintah baru bergerak cepat dan bekerja benar setelah sebuah kasus viral, ramai dan menjadi sorotan publik.

Maka, jangan puas sekadar menjadi the silent majority. Jadi warga kebanyakan yang diam saja melihat segala bentuk ketidakadilan dan ketidakbenaran. Jangan pernah takut untuk bersuara. Diam tidak selamanya emas. Dalam kasus ketidakadilan, diam bisa jadi jahat. Seperti yang pernah disampaikan Martin Luther King Jr:

“The ultimate tragedy is not the brutality by the bad peoplebut the silence of the good people.

SEJUMLAH TANTANGAN KE DEPAN

Kasus pembunuhan Brigadir J tentu masih jauh dari usai. Selain beberapa pembelajaran di atas, ada juga beberapa hal yang masih akan menjadi tantangan ke depannya. Menghindari desensitisasi masyarakat, keberanian mengamputasi organ yang busuk, dan terus membangun budaya kritis.

Kasus yang terus-menerus diulas tanpa henti juga bisa membuat masyarakat jenuh. Ada desensitisasi, atau menurunnya respons emosional terhadap suatu stimulus setelah paparan berulang kali. Pertama kali nonton film bagus mungkin kita excited dan senang sekali. Menonton kali kedua hingga kelima mungkin masih excited. Tapi menonton film yang sama 100 kali mungkin kita akan kehilangan excitement sama sekali.

Begitu pun terkait suatu kasus atau pemberitaan. Semoga kasus ini tidak terus berlarut dan membuat masyarakat enggan mengikutinya lagi. Berkurangnya tekanan publik yang kuat, bisa membuka ruang bagi penyelesaian kasus secara tidak optimal.

Keberanian Kapolri dan Presiden untuk mengamputasi organ yang busuk juga ditunggu. Kasus ini membuka fakta bahwa ada begitu banyak “oknum” tidak beres di internal kepolisian termasuk perwira-perwira tingginya. Kadang, organ yang busuk memang baiknya diamputasi sebelum ia menjalar dan membuat bagian tubuh lainnya ikut membusuk. Semakin cepat, semakin baik.

Terakhir, semoga kekritisan masyarakat terhadap penyelenggara negara tidak berhenti di kasus ini saja. Jangan-jangan kasus ini cuma fenomena gunung es yang baru terlihat secuil saja. Bisa jadi ada banyak permasalahan lain yang belum nampak. Sehingga penting bagi kita untuk tidak berpuas diri menjadikan pemerintah sebagai arbiter of truth, meminjam istilah Mark Zuckerberg.

Percaya pemerintah ya sah-sah saja. Mendukung pemerintah juga boleh banget. Tapi kritis, wajib hukumnya.

Sekian tulisan kali ini. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!

Jakarta, 25 Agustus 2022

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: