Belakangan, makin mudah menemukan konten-konten yang meromantisasi kemiskinan. Memonetisasi penderitaan orang-orang kurang beruntung. Warteg selamat dari kebakaran, dikontenin. Siswi SD rambutnya kutuan, dikontenin. Anak-anak muda Citayam nongkrong di ibukota, dikontenin bahkan mau dipatenin.
Tidak hanya konten kreator dan Youtuber. Stasiun televisi dan media cetak kita pun sering meromantisasi kemiskinan. Ada anak tukang becak yang berprestasi, lantas diromantisasi berlebihan. Tak jarang, di ajang pencarian bakat pun lebih sering menjual kisah sedih (dan kemiskinan) kontestannya dibanding mempertontonkan bakatnya.
Fenomena meromantisasi kemiskinan untuk keuntungan komersil sebenarnya bukan hal baru. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1980-an, konsep poverty porn sudah mulai ramai digunakan. Kala itu, banyak lembaga donasi dan kemanusiaan berskala internasional yang kerap menggunakan foto-foto warga miskin dan anak busung lapar dari negara-negara di Afrika sebagai cara mendongkrak donasi.
Masih hangat di ingatan, belum lama ini ada lembaga donasi yang jadi sorotan karena penyelewengan dana dan gaji bombastis petingginya. Bagaimana modus operandinya? Lagi-lagi dengan menjajakan kemiskinan sebagai produk utama mereka.
Harus diakui, menjual kemiskinan dan kisah sedih memang efektif. Terlebih di Indonesia. Kita begitu mudah bersimpati. Dalam World Giving Index (WGI) yang dirilis Charities Aid Foundation tahun 2021 lalu, Indonesia menjadi salah satu negara yang penduduknya paling dermawan. Membantu sesama tentu hal yang baik. Tapi, hati-hati. Ada baiknya kita tetap kritis.
Ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dari romantisasi kemiskinan dan poverty porn. Mulai dari: [1] mendulang simpati tanpa menyelesaikan masalah; [2] melanggengkan saviour complex; [3] rentan eksploitasi; hingga [4] objektifikasi yang tidak memberdayakan.
MENDULANG SIMPATI TANPA MENYELESAIKAN MASALAH
Remotivi dalam kajiannya tahun lalu menyampaikan bahwa tayangan dan konten poverty porn seringkali sukses mendulang simpati tanpa benar-benar menyelesaikan masalah. Bahkan cenderung mengaburkan masalah. Kita diajak bersimpati pada subjek konten yang mengalami penderitaan dan kemiskinan, tapi sama sekali abai terhadap isu lebih luas di baliknya.
Tak jarang kita diajak percaya bahwa solusi tunggal dari jerat kemiskinan adalah denga bekerja sekeras-kerasnya. Yang akhirnya malah berujung melanggengkan stigma-stigma kemiskinan: bahwa seseorang itu miskin karena malas, tidak bisa mengelola uang, dan terlalu bergantung pada bantuan sosial. Sama sekali abai bahwa kemiskinan adalah isu struktural yang kompleks. Tentang ketimpangan akses ekonomi, infrastruktur pendidikan yang tidak merata, hingga fasilitas sosial dan kesehatan.
MELANGGENGKAN SAVIOUR COMPLEX
Sejarah poverty porn tidak bisa dilepaskan dari saviour complex pelakunya. Awalnya, poverty porn banyak dilakukan oleh orang-orang kulit putih penuh privilege dari negara maju. Yang merasa bahwa merekalah satu-satunya juru selamat yang bisa membantu warga miskin di benua Afrika. Merekalah yang bisa menyelesaikan segala permasalahan di muka bumi.
Kini, mungkin polanya sudah sedikit bergeser. Saviour complex is not so white anymore. Savior complex tidak lagi hanya dimiliki oleh bule-bule kulit putih saja, tapi juga warga kelas menengah dan seleb-seleb penuh privilege yang merasa bahwa mereka adalah pusat dunia dan juru selamat bangsa. Bahwa tanpa pertolongan mereka, orang-orang miskin dan menderita tidak akan bisa berbuat apa-apa.
RENTAN EKSPLOITASI
Pertanyaan etis yang sering muncul ketika mendiskusikan poverty porn adalah soal eksploitasi. Apakah subjek yang dijadikan tokoh utama dari sebuah poverty porn benar-benar mendapatkan benefit terbesar? Atau justru yang paling mendapat keuntungan adalah para organisasi kemanusiaan, media, atau konten kreator yang mengeksploitasi mereka?
The economic of altruism is real. Klaus Jaffe, seorang profesor behavioural economy, pernah membahasnya dalam sebuah jurnal melalui paper An economic analysis of altruism: who benefits from altruistic acts?
Keuntungan ini tidak harus berbentuk finansial. Bisa juga eksposure publik melalui pemberitaan, views, clicks, dan engagement. Bisa dalam bentuk pencitraan publik sebagaimana para politisi sering mengeksploitasi korban bencana alam saat kampanye.
OBJEKTIVIKASI YANG TIDAK MEMBERDAYAKAN
Dalam poverty porn, seringkali orang miskin dan menderita tak lebih menjadi sekadar objek. Sekilas mereka seakan bintang utamanya, padahal sejatinya cuma figuran dalam drama sang konten kreator atau lembaga yang menggalang donasi. Suara, perspektif, dan kisah mereka tidak pernah benar-benar teramplifikasi. Dan hidup mereka direduksi menjadi kisah sedih yang digunakan untuk meraih simpati publik. Entah “kisah anak kutuan” atau “lansia sebatang kara”.
Mereka cuma dianggap sebagai warga yang perlu ditolong dan dikasihani. Tidak lebih. Kita begitu ingin menolong orang lain, sampai abai bahwa mereka jangan-jangan bisa berdaya tanpa kita.
Kita semua mungkin familiar dengan pepatah berikut.
“If you give a man a fish, he would eat it and come back for another fish tomorrow. But if you give him a boat, he’ll be able to fish for the rest of his life”.
Saya cukup sepakat dengan pepatah di atas.
Sayangnya, seringkali yang terjadi sih warga miskinnya cuma dikasih ikan saja. Yang mendapat kapal pesiar dan segala keuntungan duniawi, ya yang ngasih bantuan. Pasti Pak Juliari setuju banget deh ini sama saya ya kan. hehehe.
Sekian tulisan kali ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
Jakarta, 8 September 2022
Okki Sutanto