Lu ngepost selfie terbaik lu yang udah lu kurasi selama 3 jam dan pikirin captionnya matang-matang, tiba-tiba ada yang komen:
“gendutan lu ya…”
Lu share pendapat lu bahwa Rachel Tjhia adalah selebgram favorit lu, tiba-tiba ada yang bilang
“jadi lu benci sama kekeyi? rasis dasar lu cina anjing!”
Yap. Media sosial (juga hidup) memang seabsurd itu. Kita gak akan pernah bisa nebak apa komentar dan respons yang akan kita terima dari orang lain. Bisa teman, bisa orang yang gak dekat-dekat amat, bisa juga a complete stranger.
Era media sosial memudahkan orang untuk berinteraksi dan terhubung dengan siapapun yang menggunakannya. Mau itu Adam Suseno, Adam Levine, atau Adam Sandler, semua cuma sejauh sentuhan jari saja. Kita bisa reply, kirim DM, atau berkomentar ke siapapun yang terhubung ke internet. But it comes with a price.
Komentar-komentar negatif, termasuk kritikan ngasal dan sumpah serapah, juga membanjiri linimasa. Apalagi ini Indonesia, salah satu negara yang berdasarkan survei memiliki keberadaban digital paling rendah. Jadi ya wajar saja kalau banyak komentar tidak beradab. Pertanyaannya, gimana caranya kita bisa santuy menghadapi kritik dan makian? Nah, mari belajar dari Soeharto. Beliau gak pernah ambil pusing menghadapi kritikan. Santuy. Toh biasanya kritiknya akan hilang dengan sendirinya. Kadang sekaligus sama pengkritiknya, sih.
PERTAMA DAN TERUTAMA: IT’S OKAY TO BE WRONG
Ini yang paling penting untuk diingat. Bahwa semua orang bisa aja salah. Termasuk kita. Maka ketika kita suatu saat salah lalu mendapat kritik dan serangan tajam, ya gak perlu ngamuk balik. Saya apalagi, sering banget salah. Ketika mendapat komentar atau DM yang memberi masukan atau perspektif lain, ya dibaca dulu aja. Dijadikan pelajaran. Kadang, yang jadi blunder besar dalam bermedsos itu bukan kesalahan awal kita, tapi justru bagaimana kita meresponsnya. Bukannya mengakui kesalahan atau meminta maaf, malah double down mencari argumen-argumen justifikasi untuk membenarkan kesalahan kita. Malah jadi makin ribet urusannya.
If it’s too much for you to handle, just take some time off. Rehat dari media sosial untuk sementara. Hidup itu gak sebatas sosmed, koq.
SATU SENSASI BANYAK PERSEPSI
Berikutnya, jangan lupa bahwa dalam setiap komunikasi dan stimulus, ada yang namanya sensasi dan persepsi. Setiap sensasi, entah itu tulisan, foto, lagu, dan lainnya, akan dipersepsikan secara berbeda oleh tiap-tiap orang. Satu hal yang sama, bisa diartikan macam-macam. Seratus orang nonton 1 film yang sama, bisa menghasilkan 100 review dan persepsi yang beragam. Ada yang bakal bilang filmnya bagus banget, ada yang bilang jelek karena kurang aksi, ada yang bilang filmnya banyak simbolisasi dan makna terpendam, ada yang bilang penuh sindiran sosial. Semuanya sah. Kita gak bisa mengontrol bagaimana orang akan berpikir dan berpersepsi. Yang bisa kita kontrol? Reaksi kita atasnya. Santuy aja.
Semua orang saat ini bisa pakai internet dan main media sosial. Dari bocah SMP sampai lansia. Dari pengangguran sampai CEO. Dari driver ojol sampai driver F1. Dari orang gak berpendidikan sampai profesor jebolan kampus luar negeri. Dari laskar FBR sampe laskar FBI. Kita gak akan pernah tau siapa orang di balik layar ponsel tersebut. Apa latar belakang dan motif mereka, bisa bermacam-macam. Jadi, ya wajar saja kalau beda pendapat. Dinikmati saja.
DEINDIVIDUASI
Di Psikologi ada konsep yang namanya deindividuasi. Ini bisa terjadi ketika identitas individu menjadi luntur dan digantikan oleh identitas lain. Bisa identitas kelompok (deindividuasi banyak terjadi dalam agresi kelompok seperti tawuran dan kekerasan antar geng), atau anonimitas yang ditawarkan internet dan media sosial. Ketika deindividuasi terjadi, orang akan makin mudah untuk berlaku agresif dan di luar norma. Karena ia merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Orang yang di kesehariannya sopan dan kalem, bisa berubah menjadi perundung yang ganas di media sosial. Berani keluar batas, karena tidak ada akuntabilitas. Merasa tidak tersentuh dan berkuasa penuh. Padahal, yang seperti ini bisa jadi di dunia nyata gak lebih dari pengecut yang tidak bisa mengekspresikan dirinya. Makanya mencari pelampiasan di internet.
MOTIVASI DI BALIK AGRESI
Ada beragam motif di balik kritikan dan komentar ngaco di media sosial. Saya ingat salah satu episode di serial The Big Bang Theory, dimana Sheldon dibuat geram oleh komentar seorang troll di sebuah forum ilmiah online. Sang troll merendahkan dan memaki karya ilmiah Sheldon. Di akhir episode, diungkap bahwa troll tersebut adalah Profesor Stephen Hawking! Ilmuwan jenius yang begitu dikagumi oleh Sheldon. Hawking mengakui bahwa ia sebenarnya suka dengan karya ilmiah Sheldon. Beliau cuma bosan saja kelamaan hidup di kursi roda, makanya iseng menjadi troll untuk ngerjain Sheldon. Ya, iseng aja! Sengaja mau memancing emosi belaka.
Percayalah, di internet banyak banget yang kayak ini. Entah orang yang sekadar iseng, haus atensi atau kekurangan afeksi, akhirnya berkomentar sejahat itu ke idolanya di sosial media. Ketika dimarahi oleh sang idola, baru mengaku bahwa itu dilakukan sekadar untuk mencari perhatian. Jadi, gak perlu menganggap serius semua umpatan / kebencian / agresi ngaco di media sosial. Tujuan mereka cuma caper, kitanya gak perlu baper. Meladeni hater sama kayak gulet sama babi di lumpur, kitanya capek dan kotor merekanya mah kegirangan.
ADIL KE DIRI SENDIRI
Saya teringat cerita TWO BAD BRICKS-nya Ajahn Brahms. Seorang biksu membangun tembok dengan 1.000 batu bata. 998-nya baik dan bagus, tapi ada 2 bata yang kurang baik. Alih-alih berpuas diri, dia malah fokus ke 2 bata jelek tadi dan mau menghancurkan semua tembok yang sudah susah payah dibangunnya. Kalau kita fokus ke 2 bata jelek, kita malah kehilangan kesempatan menikmati 998 bata lain yang sudah bagus dan cantik.
Begitu pun di media sosial. Postingan kamu mendapat 100 likes, ada puluhan komentar positif, tapi ada 1-2 komentar yang bilang “eh gendutan ya”. Alih-alih mengapresiasi yang positif, kadang kita malah terlalu fokus ke yang negatif. Dipikirin berhari-hari sampai gak bisa tidur. Padahal, yang ngetik komentar jahatnya aja udah lupa apa yang mereka ketik dalam 1-2 jam. Kenapa malah kitanya keingetan terus? Rugi amat. Mari belajar adil sama diri sendiri.
FOKUS KE UMPAN BALIK BALIK POSITIF
Dari kritik sebenarnya kita bisa banyak belajar. Sayangnya, gak semua orang bisa menyampaikan kritik dengan baik, sopan, dan dengan argumen runut dan logis. Ada kritik yang dibungkus kata makian dan berbalut hinaan personal. Tapi, coba kita fokus ke esensi kritikan mereka saja. Siapa tahu, ada yang bisa kita jadikan pelajaran penting untuk perbaikan diri. Gak perlu fokus ke umpatan dan serangan personalnya. It tells more about them than us anyway. Cukup ambil yang baiknya saja, buang yang buruknya. Kalau semuanya buruk, ya buang aja ke tong sampah.
PERSONAL FABLE THEORY
Tiap mau ngepost sesuatu kita langsung overthinking mikirin “duh gimana ya nanti pendapat orang?”, atau “gue bagus gak sih pake baju ini?”, atau “gue nanti dicela deh pasti….”
Pemikiran-pemikiran seperti ini tuh sebenarnya gak lebih dari personal fable theory dalam istilah Psikologi. Pemikiran bahwa kita adalah pusat dunia dan semua orang adalah audiens kita yang senantiasa memperhatikan dan menghakimi kita. Istilah personal fable pertama kali dicetuskan oleh psikolog David Ellkin di tahun 1967, yang akarnya dari teori perkembangannya Piaget.
Let me stop you right there. You are not that special anyway. We are not that special. Ada 7 miliar orang di dunia. Ada 270 juta manusia di Indonesia. Ada ribuan orang yang difollow sama temen-temen lu. Lu bukan pusat dunia. Foto dan konten lu cuma discroll beberapa detik doang sama follower lu. Gak ada yang perhatiiin lu sebegitunya. Semua orang pada sibuk sama dirinya sendiri.
Semakin cepat kita menyadari ini, semakin cepat kita terbebas dari segala tuntutan dan konstruk sosial bahwa kita tuh harusnya begini dan begitu. Forget all that. Nikmati saja. Post apa yang lu mau post. Selama gak merugikan atau membahayakan diri sendiri atau orang lain, ya hajar aja. Hidup terlalu singkat untuk terlalu peduli sama pemikiran dan penghakiman orang lain. Live your life to the fullest. Explore and enjoy.
Sekian tulisan kali ini. Semoga tulisan ini bisa membantu siapapun yang mungkin masih kesulitan menavigasikan diri di tengah era media sosial. Semoga ini juga jadi pengingat bagi saya di masa depan dalam menghadapi kritikan dan hujatan. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Jakarta, 28 September 2022