Ramai-ramai Jualan Kiamat 2023

Belakangan ini bahasan soal 2023 yang begitu gelap dan seperti “kiamat” menghiasi linimasa. Apa iya? Memang sekarang gak gelap? Yakin bakal lebih parah dari resesi dan krisis yang sudah pernah kita lewati? Nah, saya coba bahas lewat tulisan ini, ya. Supaya kita gak perlu takut berlebih. Bisa lebih objektif dan proporsional memahami isu kompleks ini. Serta lebih memahami motif-motif yang bisa jadi melatari para pendengung “2023 kiamat”.

First thing first. Apa iya bakal resesi? Kemungkinan besar iya. Proyeksi ekonom dan institusi keuangan begitu. Di 2023 akan terjadi resesi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Beragam faktor jadi penyebab. Mulai dari pandemi dan rantai pasok global. Invasi Rusia terhadap Ukraina. Juga kebijakan bank sentral.

Tapi, resesi itu hal yang wajar dalam sebuah siklus ekonomi. AS sendiri sudah melewati lebih dari 10 kali resesi sejak 1945. Resesi global juga sudah 5 kali terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Tahun 1975, 1982, 1991, 2009, dan terakhir 2020. Is it the end of the world? Nope.

KOMPLEKSNYA RESESI

Pertama, resesi dan ekonomi itu sendiri kompleks. Belum lama ini pemerintah AS sempat disorot kala “merevisi” definisi resesi. Ternyata memang resesi dan ekonomi tidak sesederhana itu. Secara teknis, resesi terjadi kala Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh negatif selama dua quarter berurutan.

Tapi, kasus di AS cukup unik. PDB negatif pada Q1 dan Q2-2022, namun bisnis tetap bertumbuh. Lapangan pekerjaan terus bertambah. Dan masyarakat masih membelanjakan uangnya. Jadi, sekalipun resesi terjadi, dampaknya belum tentu seburuk itu.

DASAR PROYEKSI

Kedua, proyeksi pasti bertumpu pada data beberapa bulan terakhir. Saat ini, ekonomi dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Rantai pasok global masih belum pulih sepenuhnya karena pandemi. Kondisi geopolitik yang memicu krisis energi dan pangan. Ditambah kebijakan quantitative tightening yang diambil bank sentral di banyak negara. Hal yang sebenarnya wajar dan perlu untuk dilakukan. Khususnya setelah era quantitative easing luar biasa selama pandemi untuk mendorong ekonomi.

Jadi, wajar kalau proyeksinya suram. Keadaan saat ini memang sedang kurang baik. Pertanyaannya, apa situasi saat ini akan berlangsung selamanya? Tentu tidak. Bisa jadi minggu depan lebih baik. Bisa jadi juga lebih buruk. Bisa saja terjadi perang nuklir. Atau zombie apocalypse. Atau chip 5G yang masuk ke tubuh orang-orang lewat vaksin meledak bersamaan. We’ll never know, really.

Intinya, proyeksi tidak selalu bisa diandalkan. Selalu ada faktor X. Misalnya pandemi di awal 2020 atau invasi Putin di tahun 2022. Muncul tiba-tiba tanpa diduga. Begitu pun kali ini. Gak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi dalam 3-4 bulan ke depan. Kalau tiba-tiba Putin kena serangan jantung. Atau doi bertobat setelah di-ruqiyah. Semua proyeksi pasti berubah drastis.

KRISIS TAK TERDUGA LEBIH SULIT DIHADAPI

Ketiga, krisis yang paling sulit dihadapi adalah yang datangnya tiba-tiba. Kalau datangnya setelah pengumuman jauh-jauh hari mah namanya konser BTS. Kenapa yang dadakan bikin pusing? Karena kita tidak punya kesempatan bersiap. Seperti di awal pandemi. Semua gak tahu cara menghadapi virus. Semua gak punya vaksin. Semua ketakutan dan gak tahu harus ngapain. Nah, kalau krisisnya udah diprediksi dari jauh-jauh hari sebenarnya enak. Negara bisa bersiap menghadapinya.

TUGAS & PERAN NEGARA

Kalau Pak Jokowi menyampaikan proyeksi ekonomi 2023 yang cenderung suram, ya wajar. Memang itu tugas negara. Supaya para menteri dan aparatur negara bisa bersiap menghadapinya melalui kebijakan. Baik kebijakan fiskal pun moneter. Juga kebijakan-kebijakan lain yang fokusnya menyejahterakan serta melindungi masyarakat.

Kalau para financial influencer mendengungkan “2023 kiamat”, tujuannya apa? Ya gak jauh-jauh dari menjual ketakutan sembari mempromosikan diri dan kelas mereka sendiri. Ngehe emang. Permasalahan ekonomi 2023 itu di tataran sistemik dan makro. Menyelesaikan masalah ekonomi makro melalui pendekatan ekonomi mikro seperti personal finance ya goblok. Mosok masalahnya krisis pangan & energi, lalu solusinya daftar kelas edukasi keuangan? Elah.

RESILIENSI MANUSIA

Terakhir, faktor yang sering terlupakan dari setiap proyeksi: resiliensi manusia. Saya yakin seribu persen resesi dan pelambatan ekonomi 2023 sanggup kita lewati bersama. Masih ingat dong awal pandemi 2020? Saat kantor-kantor ditutup. Pabrik berhenti produksi. Pusat bisnis dan jalanan sepi. Pasar saham terjun bebas. Aktivitas ekonomi berhenti total. Toh, kita bisa melewatinya.

Jangan pernah meremehkan resiliensi manusia untuk bangkit dan beradaptasi. Di masa pandemi kemarin justru semangat solidaritas begitu terasa. Gerakan-gerakan kolektif untuk berdonasi dan saling bantu bermunculan. Kita saling berbagi informasi soal lapangan kerja, rumah sakit, sampai donor plasma konvalesen.

Di tengah keterbatasan justru peluang baru bertumbuh. Ada yang memulai bisnis rumahan semisal makanan. Ada yang ningkatin skill dan cari kerja remote dari luar negeri. Ada yang cari proyekan dari bikin alat deteksi covid via hembusan napas. Ada yang banting setir beli ring lights lalu jadi influencers. We pivoted. And we survived.

EKONOMI INDONESIA

Lagipula, sekalipun resesi dan perlambatan terjadi, belum tentu dampaknya akan semasif itu. Terlebih ke Indonesia. Fundamental ekonomi kita bagus. Konsumsi domestik tinggi. Neraca perdagangan surplus. Neraca pangan dan energi terjaga. Rasio hutang masih di batas aman. Pasar modal dan saham didominasi investor domestik. Cadangan devisa tinggi. Ini semua menjadi modal kita meredam resesi dan krisis di tingkat global. Backlog properti kita juga masih tinggi. Sehingga ancaman properti bubble seperti di China juga terlalu jauh.

BAHAYA KETAKUTAN BERLEBIH

Dokter dan akademisi Hans Rosling pernah menjelaskan soal ini di bukunya Factfulness. Ketakutan berlebih seringkali justru kontraproduktif. Alih-alih mencegah dampak buruk, malah bisa memicu masalah baru yang yang lebih besar. Di sejumlah negara Afrika misalnya. Ketika ada ketakutan akan penyakit menular, tak jarang pengambil kebijakan bertindak berlebihan. Antara lain menutup perbatasan dan mengunci sebuah wilayah.

Aksi ini justru memunculkan unintended consequences yang jauh lebih berbahaya. Jalanan diblokir hingga penduduk mencari rute alternatif yang berbahaya dan berujung kematian. Perbatasan dikunci hingga penduduk harus mencari sumber makanan alternatif yang berujung penyakit mematikan. Ini sudah pernah terjadi di Nacala, Mozambik, tahun 1981. Kinshasha, Kongo, tahun 1995. Juga di Liberia tahun 2014. Ketakutan berlebih hanya menghasilkan kepanikan dan kematian yang tak perlu. Ia tidak benar-benar menyelesaikan masalah.

OBJEKTIF DAN PROPORSIONAL

Menghadapi sesuatu baiknya secara objektif dan proporsional. Tidak perlu berlebihan. Jika kita panik menghadapi ancaman 2023, bisa jadi malah kontraproduktif. Masyarakat yang ketakutan bahwa ekonomi akan seburuk itu bisa jadi enggan membelanjakan uangnya. Hal ini malah berpotensi membuat roda ekonomi sulit bergerak.

Kalau masyarakat enggan belanja, bisnis sulit berkembang. Lapangan pekerjaan berkurang, daya beli menurun. Kredit tidak bertumbuh. Ekonomi makin stagnan. Bayangin kalo semua orang beli saham Apple tapi gak ada yang beli iPhone. Ujungnya malah gak sehat.

Jadi, masih mau ditakut-takuti sama financial influencers yang lagi jual diri? Saya sih ogah, ya. Buang-buang energi aja.

Saya jelas bukan orang yang paling optimis di dunia. Malah seringkali pesimis. Tapi untuk kali ini, saya lebih memilih menjadi realistis aja. Berdagang ketakutan lewat konten fear-mongering itu jurusnya Jouska. Founder-nya aja udah dipenjara. Kenapa jurusnya masih aja dipakai sih? Basi elah.

Sekian dulu tulisan kali ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

Jakarta, 15 Oktober 2022

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: