Orang kadang bingung dengan pandangan dan afiliasi politik saya. Saya pemilih Pak Jokowi, tapi saya sering mengkritik kebijakan dan langkah beliau. Saya pemilih PSI di Pileg 2019. Bahkan kala itu mengadvokasi orang-orang terdekat saya untuk memberi kepercayaan pada PSI. Tapi kini saya sering ngejulidin PSI saat mereka mulai aneh-aneh.
Saya bukan pemilih Pak Anies Baswedan di Pilgub 2017. Tapi saya tidak segan mengkritik media dan pihak yang menyebarkan hoax atau framing jahat soal Anies.
Mungkin bagi sebagian orang ini aneh. Karena buat mereka mendukung itu haruslah membabi buta dan membenci haruslah sepenuh hati. Bagi saya tidak. Apalagi urusan sosok dan tokoh. Saya tidak mau terjebak dalam fanatisme ketokohan apalagi pengkultusan. Sejarah membuktikan yang demikian jarang berakhir baik. Biasanya horor dan tragedi. Entah sakit hati karena sang tokoh ternyata tidak sesempurna itu. Atau berujung kengawuran sang tokoh yang terlena dengan kekuasaannya. Ya gimana gak ngawur kalau apa pun yang dilakukan selalu dibela dan didukung?
Saya lebih memilih untuk berdiri di tengah dan mengambil jarak. Cuma karena saya suka Messi bukan berarti saya gak bisa menikmati permainan Cristiano Ronaldo. Cuma karena saya suka Taylor Swift, bukan berarti saya tidak boleh menikmati Kekeyi. Ya kan? Hidup lebih berwarna saat kita bisa bersikap adil dan menikmati banyak hal. Bisa mengapresiasi saat ada prestasi, bisa mengkritik saat ada yang menggelitik.
2024 masih lama, tapi hari-hari ini tensi politik sudah mulai memanas. Linimasa kembali terpolarisasi seperti saat Pilgub DKI dan Pilpres sebelumnya. Terlebih sejak Anies selesai menjabat Gubernur DKI dan dideklarasikan sebagai calon presiden 2024. Di media sosial, kelakuan fanboy & haters Anies sama saja. Sama-sama ngeselin dan cuma bikin antipati. Sama-sama puas hidup dalam gelembung dan ruang gemanya sendiri. Sama-sama menutup diri akan kebenaran dan perspektif lain.
Fanboy Anies kerap melontarkan puja-puji berlebihan yang kadang tak berdasar. Juga tak segan membuat hoax yang tujuannya mengharumkan nama Anies. Mulai dari video dukungan Obama ke Anies hingga deklarasi dukungan dari para uskup. Yang terakhir ini sampai harus diklarifikasi oleh Keuskupan Agung Jakarta, lho. Obama sih belum klarifikasi, ya. Tapi kayaknya semua yang punya akal sehat tahu itu tidak benar.
Haters Anies juga tidak kalah ngehe. Mereka menutup mata terhadap segala pencapaian dan prestasi Anies. Hingga tak segan membuat hoax dan framing yang jahat. Misalnya kecelakaan bus yang dibuat seolah-olah dialami rombongan pendukung Anies, padahal bukan. Saat Anies jadi saksi kasus korupsi, lantas digoreng seakan-akan Anies didakwa sebagai koruptor. Pokoknya, di mata mereka semua yang Anies lakukan salah.
Polarisasi ini tidak nyaman dan berbahaya. Ini sudah pernah kita alami. Ini juga yang terjadi di Amerika Serikat. Bill Bishop dalam bukunya The Big Sort, menjelaskan bagaimana polarisasi politik merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat di AS. Polarisasi bisa membuat negara terbelah hingga masyarakatnya hidup dalam dua realita berbeda. Masing-masing memiliki wilayah sendiri (blue states & red states di AS). Mengkonsumsi media masing-masing. Hingga memiliki institusi pendidikan dan keagamaannya sendiri.
Ketika ini sudah terjadi, jangankan gotong royong. Hidup berdampingan saja jadi tidak memungkinkan. Dan saat orang sudah begitu nyaman hidup dalam komunitasnya yang homogen, tindak kekerasan ekstrem jadi mudah terjadi. Khususnya ketika bertemu dengan orang-orang di luar komunitasnya. Yakin, masih mau memelihara dan melestarikan polarisasi di masyarakat?
Untuk fanboy Anies, sadarlah. Cara untuk memenangkan Pemilu bukan dengan terus-menerus mengelu-elukan Anies di tengah kelompok sendiri. Orang tidak menang Pemilu karena yel-yelnya paling bagus dan berisik. Tapi dengan mendapatkan suara dari sebanyak-banyaknya pemilih. Dari mereka yang tidak sepaham dan belum menentukan pilihan (swing voters). Kalau cara-cara kalian saja cuma membuat orang antipati, apa yang mau dicapai? Kalian itu sebenarnya mau Anies memang atau cuma lagi menghibur diri sendiri?
Untuk hater Anies, sadarlah. Bagaimanapun, Anies adalah salah satu kandidat Capres terkuat di berbagai studi dan survei. Konsisten muncul di tiga teratas. Kalau nanti Anies jadi presiden, lantas kamu mau apa? Mau teriak-teriak “not my president?” seperti saat Trump dilantik? Mau pindah kewarganegaraan? Sadar diri. Malaysia aja belum tentu mau ngakuin lu. Apalagi negara lain. Masak iya sepanjang Anies jadi presiden mau terus memelihara kebencian dan sakit hati?
Bahkan jika Anies gak menang pun, ada kemungkinan akan masuk ke pemerintahan seperti Prabowo kemarin, lho. Apa gak capek kamu segitunya benci Anies tapi ujungnya elit politik pada collab?
Sampai saat ini saya belum menentukan pilihan Capres 2024 nanti. Ya gimana mau menentukan, wong capresnya siapa aja belum jelas koq. Lagian ide, visi, dan programnya aja belum tahu, gimana mau dukung? Kayak beli babi dalam karung aja. Alias udah pasti haram.
Saya bukan pendukung Anies. Bagi saya jelas Anies punya banyak kekurangan. Dari program-programnya yang kadang tidak jelas. Inkonsistensinya saat kampanye dan menjabat. Juga kecenderungan overselling pencapaian melalui narasi dan statistik yang berlebihan. Tapi bukan berarti Anies tidak punya pencapaian dan kelebihan sama sekali. Saya apresiasi Formula E dan Stadion JIS. Penerapan Jaklingko dan aplikasi JAKI. Revitalisasi Kota Tua & Perpustakaan DKI. Sampai pembangunan trotoar dan jembatan-jembatan instagrammable.
Let’s give credit where credit is due. Anies adalah satu-satunya kandidat yang memiliki PhD di bidang sains politik. He knows exactly what he’s doing. Dari membangun citra politik, hingga menapaki anak tangga paling sedikit menuju puncak kekuasaan. Dan ia melakukannya tanpa memiliki partai politik dan kekayaan berlimpah. Only a handful of people could pull this off.
Tahun 2007, Anies “cuma” seorang rektor dan akademisi. Tahun 2009, saat Prabowo ikut Pilpres sebagai Cawapresnya Megawati, Anies “cuma” moderator debat Pilpres. Lalu di 2010 ia membuat gerakan Indonesia Mengajar dan memikat hati kelas menengah.
Di 2013 Anies mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Di 2014, Anies hanyalah jubir kampanye saat Prabowo kembali mengikuti Pilpres sebagai Capres. Selepas itu ia menjadi Menteri Pendidikan.
Di 2019, saat Prabowo kembali menjadi Capres, Anies “cuma” seorang Gubernur DKI. Dan kini di tahun 2022, Anies menjadi rival Prabowo dalam pemilihan presiden 2024.
Coba dibaca lagi pelan-pelan. Dalam 15 tahun, seseorang yang “bukan siapa-siapa” bisa menjadi salah satu kandidat presiden potensial. Ini bukan hal yang mudah dan penuh kebetulan. Dibutuhkan kemampuan berstrategi jangka panjang dan pemahaman mendalam terhadap sistem politik di Indonesia. Dan untuk itu saya angkat topi buat Anies.
Jika dalam perjalanannya ada satu-dua “jalan pintas” yang bertentangan dengan nurani dan kompas moral kita, bagi saya ini wajar. He saw an opportunity and he took it. Saya tentu tidak membenarkannya. Tapi mereka-mereka yang membenci Anies mungkin akan membuat pilihan yang sama. Mereka cuma belum pernah saja berada di posisi Anies.
Cuma orang naif yang berpikir dunia politik itu bersih dan suci. Yang selalu dilakukan penuh martabat dan kesantunan. Soe Hok Gie pernah berkata bahwa politik itu barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi ketika suatu saat kita sudah tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. Begitu kata Gie.
Kalau mau bersih terus ya jangan masuk politik. Masuk ke mesin cuci LG bukaan atas aja. Sekian tulisan saya sampai jumpa di tulisan selanjutnya!
Jakarta, 28 Oktober 2022