Kenapa Politisi Akan Selalu Mengecewakan


Tahun depan sudah Pemilu 2024. Belakangan ini, tensi politik kian memanas. Tapi, tak jarang saya dengar bahwa orang-orang mulai kecewa pada politisi dan partai politisi yang ada. Dari politisi yang kebanyakan gimmick. Politisi yang hobi pencitraan tanpa punya program dan visi yang jelas tentang membangun negri. Sampai partai politisi yang ngakunya partai anak muda tapi kelakuannya ya gitu deh. ehehe..

Tak sedikit yang kecewa dengan presiden berkuasa, yang dulu dianggap harapan baru tapi ternyata kelakuannya gak jauh dari orde baru. Intinya, banyak yang kecewa sama politisi. Termasuk saya. Tapi, dipikir-pikir, kayaknya emang kita akan selalu dikecewakan oleh politisi ya sampai kapan pun? Kenapa begitu?

Karena sejatinya tugas politisi ya menjajakan harapan. Memberi janji manis dan membuat program bombastis kala kampanye. Kalau gak begitu, ya siapa yang mau memilih? Intinya ya jobdesc mereka itu jualan harapan. Dan sayangnya, berharap adalah kunci utama kekecewaan. Gak mau kecewa? Ya jangan berharap. hehe..

Tapi, kenapa ya kira-kira politisi yang awalnya kita dukung, jagokan, dan jadikan tumpuan harapan, kebanyakan akan gagal memenuhinya? Izinkan saya menjelaskan hal ini lewat cerita yang mungkin dekat dan mudah dipahami. Cerita pertama soal teknisi yang memulai bisnis sendiri. Cerita kedua soal fashion influencers yang membangun brandnya sendiri.

Ini tahun ketujuh saya berbisnis di bidang elektronik. Saya cukup sering mendengar cerita soal bekas teknisi yang keluar dari perusahaannya untuk memulai bisnis serupa, biasanya servis elektronik. Ya sah-sah saja, sebenarnya. Gak ada yang larang.

Tapi, jarang yang bertahan lama. Kebanyakan bangkrut setelah 1-2 tahun. Kenapa ya? Awalnya, mereka merasa sudah cukup “pintar” dalam hal teknis melakukan perbaikan elektronik. Sehingga sudah tidak rela lagi sekadar jadi “anak buah”. Akhirnya mulai bisnis sendiri. Tapi begitu dijalani, ternyata bisnis tidaklah semudah mengganti baterai iPhone.

Jadi teknisi yang jago saja tidak cukup. Dalam berbisnis, kita juga perlu tahu cara mengelola operasional, berkomunikasi dengan klien, melakukan pemasaran, paham cashflow dan menghitung profit, tahu cara mengembangkan dan mempertahankan karyawan, dan lain sebagainya. Para teknisi yang seringkali berkutat “cuma” di urusan perbaikan elektronik, tidak punya kesempatan melihat sebuah bisnis dari helicopter view. Secara keseluruhan. Akhirnya dikira bisnis itu gampang. Padahal, nyatanya gak semudah itu.

Mari kita mulai ke cerita kedua. Saya pernah baca soal kisah seorang fashion influencers yang merasa bahwa bisnis fashion itu ambil untungnya gila-gilaan. Harganya terlalu mahal. Dia coba membedah ongkos produksi dari sejumlah bisnis fashion. Lalu dengan berani meluncurkan brand fashionnya sendiri. Ia menjual dengan harga murah. Dan membayar pekerjanya dengan lebih mahal. Dengan tujuan mengambil untung “sewajarnya” saja. Bagus dong? Akan win-win solution dong buat pengusaha dan pembeli? Ternyata, gak juga.

Yang dia lupa hitung adalah ada “hidden cost” yang tidak diketahui awam. Bahwa bisnis pakaian akan punya banyak sekali barang sisa atau “waste” yang juga seharusnya diperhitungkan sedari awal. Juga fakta bahwa membangun brand itu butuh waktu dan usaha yang tidak mudah. Belum lagi soal ongkos “research & development” yang susah dihitung tanpa pengalaman sama sekali di industri ini. Akhirnya, setelah beberapa lama, ya dia bangkrut juga.

Kedua cerita tersebut menjelaskan soal PEMAHAMAN PERMUKAAN. Banyak anak baru yang tiba-tiba merasa mikirnya sudah out of the box. Inovatif. Penuh solusi. Revolusioner. Yang ternyata, pas terjun langsung ke dalamnya, kenyataan jauh lebih kompleks dibanding imaji mereka di awal. In order to think outside the box, you need to know the box inside out. Orang-orang baru di dunia politik seringkali merasa bisa membawa perubahan, bisa menjanjikan hal-hal luar biasa, ya karena mereka belum paham aja kondisi dan kompleksitas lapangannya gimana.

Saat BELUM menduduki posisi tertentu mah, ngoceh gampang. Oh banjir? Gini solusinya. Oh macet? Gini lho jalan keluarnya. Oh pelanggaran HAM? Gampang itu nyelesainnya. KARENA SELAMA INI PEMAHAMAN MEREKA BARU SEBATAS PERMUKAAN SAJA. Belum paham sekompleks dan seruwet apa di lapangannya. Bahwa ada banyak stakeholders yang harus senantiasa diperhatikan. Bahwa ada begitu banyak kepentingan. Bahwa ada begitu banyak keterbatasan.

ADA HATI YANG HARUS DIJAGA.

Jadi politisi itu kayak playboy yang punya banyak selingkuhan. Banyak hati yang harus dijaga. Gak bisa sesuka hati karena nanti ada yang ngambek. Ya partai politiknya sendiri. Ya partai koalisinya. Ya tokoh militer atau kepolisian. Ya pebisnis. Ya para pemilih dan pendukungnya sendiri. Ujungnya ya mereka TERSANDERA KEPENTINGAN.

Mau hapus subsidi, nanti elektabilitas rendah dan gak dipilih lagi. Mau ngeberesin mafia A B C, nanti pemain lama yang udah nyaman jadi mafia ngambek. Mau ngisi kabinet dengan sosok-sosok yang beneran bisa kerja? Nanti partai koalisi ngambek gak kebagian jatah. Mau naikkin UMR gak kira-kira? Nanti pengusaha ngamuk dan angkat kaki dari Indonesia. hehe. Ada begitu banyak hal yang perlu diperhatikan. Ruang gerak pun jadi terbatas.

Mau coba memerintah tanpa mikirin dan menjaga hati pihak-pihak tadi itu? Ya siap-siap saja di-Gusdurkan. hehehe.. Memang gak gampang jadi politisi. Gak akan bisa memuaskan semua pihak. Akan selalu ada korban dari setiap pilihan dan kebijakan. Dan akhirnya, yang paling sering dikorbankan ya mereka-mereka yang tidak bisa melawan. Ya petani. Aktivis. Anak muda. Mahasiswa. Orang miskin. Nelayan. Tukang ojek. Dan kelompok-kelompok rentan lainnya.

Karena begitu banyaknya kepentingan dan hati yang harus dijaga, akhirnya para politisi jadi lebih sibuk mencegah masalah daripada menyelesaikan masalah. Lebih sibuk berpolitik dan bersilaturahmi, membayar hutang budi, melakukan pencitraan, hingga urusan-urusan administratif dan seremonial remeh temeh lainnya.

POLITISI BUKAN SUPERMAN.

Banyak keterbatasan yang harus dihadapi politisi. Dibatasi budget. Dibatasi periode berkuasa. Dibatasi kondisi dunia internasional. Dibatasi konstitusi (harusnya). Dan juga dibatasi oleh rakyatnya sendiri (lagi-lagi, harusnya). Meski seringkali yang terjadi sih sebaliknya ya: membatasi rakyatnya sendiri. hehehe.. Intinya, jadi politisi itu bukan superman yang bisa menyelesaikan semua masalah sendirian. Superman aja kadang-kadang butuh Justice League, koq.

HARUSKAH KITA BERHENTI BERHARAP?

Jadi, kita harus gimana? Apatis saja dengan dunia politik? Acuhkan aja kayak chat dari mantan? Ya jangan, dong.

Dukunglah secukupnya, kecewalah seperlunya. Cukup jadi warga negara yang rasional. Yang memiliki standar minimum kompetensi. Anak lulus SMP aja ada nilai yang mesti dicapai koq, ini politisi koq ya enak banget segoblok apa pun tetep bisa dapet jabatan.

Politisi yang kamu dukung gak sesuai harapan? Ya coret, jangan dipilih lagi. Belum sesuai harapan? Ya bersuaralah. Kritik. Suarakan kekecewaan kita. Kasih masukan. Itu hak dan kewajiban kita koq. Bersuaralah, sebelum dilarang. ehehe.. Kalau perlu, terjun ke dunia politik kayak Mbok Niluh atau politisi-politisi lainnya yang siap membawa idealisme mereka sendiri. Tapi, ya siap-siap saja perjuangannya gak mudah.

Intinya, biasakan untuk mendukunglah ide dan program dari seorang politisi. BUKAN orangnya. Setuju sama tweet-nya Ibu Evi Mariani belum lama ini. Bahwa lebih baik ngebucin sama BTS daripada ngebucin sama politisi. Meski lebih baik lagi ya gak ngebucin sama siapa-siapa karena itu hanya akan berujung kekeceewaan.

Saya juga cukup setuju dengan tulisan dari Prof. Matt Sleat, pengajar ilmu politik di University of Sheffield, UK:

“Accepting the inevitability of disappointment doesn’t mean we should resign to the status quo. It just means that we should not be surprised that politics does not live up to our ideals.”

Gak ada harapan yang salah. Yang ada cuma politisi yang gagal memenuhi harapan kita. Terus berharap ya sah-sah saja. Tapi ya kuatkan hati saja untuk dikecewakan.

Jakarta, 17 Januari 2023

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: