Korupsi telah dikorupsi. Ya oleh pejabat, media, juga kita sendiri.
Dulu, korupsi punya nama lengkap. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. KKN! Berkumandang bergemuruh di tiap jengkal sudut reformasi. Korupsi dilarang! Kolusi dibenci! Nepotisme diberantas.
Tapi kini, korupsi telah terkorupsi. Jadi tinggal…korupsi. Disempitkan dan direduksi, hingga kehilangan esensi.
Buktinya apa?
Kita punya Komisi Pemberantas Korupsi. Tapi tidak dengan Kolusi dan Nepotisme.
Itu pun Komisi Pemberantas Korupsi-nya kayaknya gak peduli-peduli amat juga sama korupsi. Kemarin, Gubernur Papua yang tersangkut korupsi menagih “janji rahasia” sang Ketua KPK. Apa namanya kalau bukan kolusi?
Persetan dengan kolusi. Semua bebas bersekongkol dan membuat pemufakatan jahat. Memuluskan legislasi jahat tanpa persetujuan rakyat. Membuat kesepakatan-kesepakatan politik rahasia tanpa melibatkan konstituen. Hingga kolusi DPR dan MK untuk “main hakim sendiri”. Yang terakhir miris, baru pertama kali dalam sejarah semua hakim MK dipolisikan. Diduga terlibat dalam perkongkolan tolol mengubah putusan.
Trias politika telah lama jadi trias koruptika. Ngapain pembagian kekuasaan kalau bisa bagi-bagi kekuasaan? ehehe..
Nepotisme
Itu tadi baru kolusi. Nepotisme? Duh. Presiden kita anaknya walikota di Jawa. Mantunya walikota di Sumatera. Iparnya Ketua MK. Lalu anak bungsunya juga sekarang mau masuk politik. Ya siapa yang gak minat wong gak perlu ngapa-ngapain pasti dapet jabatan. Pas awal sih ngakunya beda, ternyata cuma nunggu waktu aja buat tergoda. ehehe..
Gubernur Instagram tanpa malu-malu merestui jalan istrinya jadi Walikota. Para mantan presiden tanpa malu-malu menjadikan anaknya pejabat dan ketua partai. Para kepala daerah tak malu mewariskan dinasti ke anak istrinya. Apa itu kerja keras? Apa itu prestasi dan kemampuan? Selama kamu terlahir dari titit yang tepat, apa pun bisa kamu dapat.
Ya, korupsi telah direduksi dan dikorupsi. Oleh mereka-mereka yang punya jabatan. Oleh media yang memuluskan jalan mereka. Oleh para pendukung yang selalu punya pembenaran atas setiap langkah junjungan mereka. Oleh kita yang memilih diam.
Padahal, kolusi dan nepotisme tidak kalah jahat dari korupsi. Mereka menutup gerbang keadilan. Mereka menutup akses bagi orang-orang yang tidak dekat dengan kekuasaan. Mereka adalah pangkal dari begitu banyak masalah di negara ini. Dari pejabat inkompeten, kebijakan tolol, persekongkolan jahat, hingga ketidakadilan.
Kolusi dan nepotisme ya awal dari konflik kepentingan. Yang sudah sepatutnya dihindari siapa saja yang waras dan punya moralitas. Membiarkan keluarga kita ikut dalam pertandingan yang kita wasiti ya jelas tolol. Membiarkan pejabat membuat kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka sendiri ya jelas bangsat.
Tapi ya apa boleh buat.
Korupsi telah dikorupsi. Dan kita cuma bisa jadi saksi.
Mungkin benar kata Bung Karno. Perjuangan beliau akan lebih mudah karena melawan penjajah. Dan perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Juga anak cucu beliau.
Jakarta 3 Februari 2023