Seorang pejabat pajak saat ini sedang jadi sorotan. Berawal dari kasus kekerasan remaja, kasus kini bergulir ke isu pamer harta, nilai kekayaan fantastis, transaksi janggal dan ilegal, hingga kekayaan yang tidak dilaporkan dan pajak yang tidak dibayarkan.
Bayangkan. Seorang pejabat urusan perpajakan. Malah melanggar urusan perpajakan. Ironi bukan?
Sayangnya, ini bukan hal baru apalagi satu-satunya. Kasus Gayus masih hangat di ingatan. Pejabat berharta jumbo juga sudah jadi sesuatu yang lumrah. Ada apa sebenarnya dengan pajak? Apakah benar semua orang sama di mata hukum? Setara di mata pajak?
Tentu saja tidaak.
“TAX IS A POOR MAN’S GAME!”
Begitu salah satu kalimat di buku The Panama Papers yang membuat saya termenung. “Anjing, bener juga!” batin saya kemudian.
Membayar pajak sesuai aturan itu cuma buat orang miskin. Mentok-mentok ya kelas menengah. Buat orang-orang super kaya, pajak itu permainan yang sama sekali berbeda.
Kasus Panama Papers mengungkap hal ini. Laporan investigasi hasil kerjasama ratusan jurnalis ini mengungkap betapa pejabat dan orang-orang super kaya di 80 negara melakukan manuver sedemikian rupa untuk menyembunyikan harta, menyamarkan transaksi ilegal, dan menghindari pajak. Termasuk pejabat dan konglomerat Indonesia.
Maka sejatinya tidak perlu heran dengan fenomena pejabat pajak ngehe belakangan ini. Mengangkangi pajak itu sudah jadi rahasia umum. Opsinya banyak. Bisa menggunakan perusahaan cangkang luar negeri seperti modus di Panama Papers. Atau menggunakan jasa “orang dalam” yang paham pajak. Siapa yang paling paham pajak selain para pegawai pajaknya sendiri seperti Gayus dan Rafael? hehehe..
Sayangnya, Panama Papers kurang menggigit di Indonesia. Di luar negeri, dampaknya luar biasa. Perdana Menteri Islandia mundur. Pengusutan dan penindakan hukum bagi nama-nama yang masuk ke Panama Papers dilangsungkan. Revolusi dan penggulingan rezim terjadi. Sejumlah negara membuat peraturan dan legislasi baru untuk mencegah modus serupa terjadi di masa depan.
Di Indonesia, rilis Panama Papers pada 2016 bertepatan dengan program Tax Amnesty yang digagas presiden. Hasilnya, laporan Panama Papers tidak dianggap penting. Pemerintah seakan berkata “Iya iya gue tau lu pada nyembunyiin harta di luar negeri, udah sekarang bawa pulang buat membangun bangsa, dosa lu gue maapin”.
Jadinya, ya gitu…
Bahkan nama-nama besar yang ada di Panama Papers, kini menjadi menteri bahkan menteri koordinator di republik ini. Lucu ya, mereka-mereka yang jelas-jelas mengangkangi pajak dan gagal menjadi rakyat yang baik, kini malah diberikan tanggung jawab mengurus rakyat. Mereka-mereka yang moralitasnya patut dipertanyakan, kini malah ditugasi mengurus moralitas rakyat. hehehe..
Intinya, jangan kira ketimpangan hanya masalah pendapatan saja. Dalam urusan membayar pajak pun, ketimpangan jelas terjadi. Rakyat kecil pekerja keras ya harus tunduk patuh pada segenap aturan. Seperti kasus komika Babe Cabita yang dikenai denda pajak cukup besar karena tidak paham peraturan.
Tapi, buat orang-orang super kaya, ya beda. Akan selalu ada pejabat-pejabat ngehe macam Rafael Alun yang siap memudahkan hidupmu. Memberimu karpet merah, membuat hartamu terlihat bersih dan rapih, dan membuatmu lolos dari jerat hukum.
Apakah gratis? Ya gak lah. Minimal 1 Rubicon dan 1 Harley. hehehe..
Jakarta, 9 Maret 2023