BAHAGIA TAK HANYA MILIK SAYA


Kemarin sempet lihat konten yang intiya berkata gini:

“Sorry ya story lu gue mute, soalnya gue belom sanggup liat orang lain pamer kebahagiaan di sosmed”

For the longest time, that’s me.

Ada masanya sulit sekali bagi saya untuk ikut merayakan keberhasilan orang lain. Tiap kali ada teman yang sukses, entah dapat promosi, dapat kerjaan baru, dapat beasiswa, bisnisnya berkembang pesat, atau meraih pencapaian tertentu lainnya, saya cuma bersungut-sungut dalam hati.

Ah, dia mah hoki. Ah, dia mah enak anak orang kaya. Ah, dia berada di waktu dan tempat yang tepat aja. Ah, dia mah cucu Soekarno. Dan seterusnya.

Setiap pencapaian orang lain, rasanya cuma jadi pengingat akan kegagalan diri sendiri. Ketika melihat orang lain sukses, yang jadi fokus saya cuma “Giliran gue kapan, bangsat?”

Gitu terus. Sampai saya lelah sendiri. Lalu berpikir.

Jika nanti saya berhasil, ada gak ya yang bakal ikutan senang dengan tulus?

Jawabannya….ya belum tentu.

Jangan-jangan, saya gak sendirian. Jangan-jangan, orang-orang lain juga gak sesenang itu liat ada orang yang berhasil. Crab mentality, istilahnya. Kalo saya gak berhasil, orang lain juga gak boleh berhasil. Ujungnya, dunia dihuni sama orang-orang yang gagal merayakan kebahagiaan orang lain. Wah, sedih banget ya hidup di dunia yang seperti ini?

Akhirnya saya rasakan sendiri berada di ujung meja satunya. Pas S2, saya pernah dapat kesempatan beasiswa riset selama 3 bulan ke Belanda. Pas menjalaninya, saya gak banyak berpikir. Belakangan, jauh setelah beasiswanya selesai dan kuliah S2-nya udah beres, saya diberi tahu oleh seorang teman S2. Bahwa waktu itu banyak yang berpikir kalo saya dapat beasiswa karena faktor kedekatan saja sama petinggi fakultas. Bukan karena saya layak.

Ck! Sakit juga, ternyata.

Ya saya emang dekat sama petinggi kampus, sih. Sejak masih mahasiswa S1. Itu fakta yang tidak bisa saya bantah. Dekatnya juga karena saya sering jadi seksi repot di urusan kemahasiswaan. Jadinya ya emang harus dekat sama semua pihak. Mulai dari petugas cleaning service, sound system, satpam, mbak-mbak sekretariat kampus, dosen, sampai rektorat. Jadi dekat ya karena sering berinteraksi. Ada urusan, baik yang formal pun nonformal.

Tapi, untuk urusan beasiswa S2, sejujurnya semua koneksi itu gak guna-guna banget. Saya aja dari awal gak minat-minat banget dapet beasiswa. Akhirnya ikut daftar juga di detik-detik akhir biar ada “perwakilan” aja dari jurusan saya. Lalu seleksinya juga dilakukan oleh petinggi yayasan lintas negara (Indonesia & Belanda) yang saya gak kenal. Di tiap proses, gak ada usaha atau harapan berlebih untuk dapat beasiswanya. Dapet syukur, enggak juga gak masalah. Gak ada tuh lobi-lobi ekstra supaya lolos. Saya kan bukan Erick Thohir.

Singkat cerita, akhirnya saya dapat beasiswa tersebut. Saya lakukan tugas dengan baik (sambil jalan-jalan), pulang, ikut ujian thesis, lalu lulus. Sama sekali gak sadar bahwa di belakang sana ternyata ada yang punya pikiran negatif soal beasiswa saya.

Tapi ya saya gak mempermasalahkan juga. Lha wong udah lewat juga. Saya taunya telat. Kalau saya taunya di awal mah, saya bakal minta mereka yang gantiin saya dapet beasiswa. Karena saya ini udah tau beasiswa ini gak bakal kepake juga di CV saya. Mungkin mereka lebih butuh. Sama kayak pas S1 saya sering nolak-nolakin kesempatan dari petinggi kampus untuk ikut kegiatan “future leader”, soalnya saya tau gak bakal kepake di CV. Lebih baik diberikan ke yang lebih membutuhkan.

Looking back, it was a funny experience.

Ternyata, yang ngomongin saya di belakang juga emang gak daftar dapetin beasiswa juga. LAH NGEHE, TERUS LU PADA NGIRI BUAT APAAN? Kalau saya dianggap ngambil jatah mereka yang berhak, ya silakan marah. Lah ini mereka juga gak daftar, koq. Bener-bener crab mentality.

And then it hits me. It was me for the longest time. I’m that shitty friend who refuse to celebrate those who made it. I’m that shitty guy who talks shit about other people, just to make myself feel a little bit better. I’m that crab.

Ya mungkin ini karma saya aja.

When we fail to celebrate EVERYONE who made it, NOBODY will be there to celebrate with us when we made it.

Lalu perlahan saya memperbaiki diri. Belajar untuk tidak jadi si kepiting menyedihkan yang gak rela melihat orang lain bahagia. Belajar untuk ikut senang dan merayakan pencapaian teman-teman saya yang luar biasa. Kadang saya masih suka gagal, rasa iri masih suka terselip. But I chose to learn. I chose to be a better friend. I chose to be a better supporter. I chose to fight the demon in me.

Dan hidup, jadi jauh lebih menyenangkan. Hidup jadi lebih berwarna dan seru ketika kita bisa senang melihat orang lain bahagia. Ketika kita berhenti posesif dan menganggap bahwa kebahagiaan itu hanya milik kita seorang. Ketika kita sadar, kebahagiaan orang lain tidak membuat citra diri dan keberhargaan saya berkurang. It’s not a zero sum game. Bahagia itu, bukan hanya milik saya. Orang lain layak bahagia. Dan ikut bahagia, gak ada salahnya.

Dengan turut merayakan pencapaian teman-teman saya, saya jadi bisa belajar banyak dari mereka. Bisa bertanya gimana ceritanya mereka bisa mencapainya. Bisa belajar tentang struggling dan perjuangan yang mereka lalui untuk mendapatkannya. Ketika kita ikut senang dengan tulus, mereka juga jadi lebih terbuka lho untuk berbagi. Ya siapa juga yang mau berbagi sama orang yang sirik mulu idupnya?

Tak jarang, dari ucapan-ucapan sederhana seperti “Wow congratulations for your new job / book / business / achievement”, bisa berlanjut ke diskusi seru yang saling mencerahkan. Bahkan bisa berlanjut ke berbagi mimpi dan saling dukung. “Oh elu sekarang di bidang copywriting, nanti kalo ada temen gue yang butuh, gue kenalin ke lo ya!”, atau “Oh lu lagi cari beasiswa juga, nih gue share ya kemarin langkah-langkah dan resource yang membantu gue”

All that, from a simple gesture.

Gak, tulisan ini gak bermaksud mengajak kamu menjadi manusia pamrih yang ada maunya. Yang cuma pura-pura ikut bahagia biar dapet sesuatu. Bukan itu poin utamanya. Cuma mau bilang bahwa the law of attraction does exist. Pikiran, ucapan, dan aksi yang positif akan mendatangkan hal-hal positif juga dalam hidup. Kalau kita memilih sirik dan bersungut-sungut ketika orang lain bahagia, ya pantes aja yang datang ke hidup kita juga hal-hal negatif mulu.

Intinya, yuk belajar untuk merelakan bahagia. Bahwa bahagia itu bukan milik kita seorang. Bahwa orang lain juga boleh banget bahagia. Dan hidup itu gak harus gak melulu soal prestasi dan kompetisi. Tapi lebih sering soal kolaborasi dan kontribusi.

Ojo dibandingke, kalo kata Farel Prayoga. Ya benar, ngapain juga sibuk banding-bandingin hidup kita sama orang lain. Lebih penting memastikan, diri kita di hari ini lebih baik dari diri kita di hari kemarin. Diri kita di tahun ini, sudah lebih bijak dan dewasa dibanding diri kita di tahun lalu.

Jakarta, 31 Maret 2023.

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: