Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas respons dari teman-teman sekalian untuk tulisan terakhir saya. Tulisan soal belajar bahagia melihat kebahagiaan orang lain itu ternyata relate dengan banyak orang. Banyak yang ikut membagikan, meninggalkan komentar, sampai DM personal ke saya tentang struggle dan pengalaman mereka sendiri.
Salah satu pertanyaan yang cukup sering muncul: “Gimana caranya ya kita gak iri melihat pencapaian orang lain? Terlebih di saat “momen bersinar” gue koq gak dateng-dateng?”
Maka saya merasa perlu untuk sedikit bercerita pengalaman dan perspektif saya soal ini. Anggap saja ini bentuk pertanggungjawaban moral saya juga, biar gak dianggap lempar batu sembunyi tangan. Udah nyuruh orang gak gampang iri, eh gak ngasih tau caranya. haha. Ya maap, emang dari awal saya gak berniat menjadi si paling tahu dan si paling gak ngiri koq. Saya sendiri masih belajar. Masih suka gagal. “Still learning to love, just starting to crawl”, kalo kata lirik lagu Say Something-nya A Great Big World.
Dan tulisan ini, juga tidak bermaksud mengambil posisi demikian. Mengajari atau menjadi panduan yang bisa diikuti semua orang. Tidak sama sekali. Ini saya cuma membagikan perjalanan saya sendiri, dan hal-hal yang membantu saya menjadi kepiting yang sedikit lebih baik. A crab with a slightly better mentality. Mungkin ada yang bisa dipelajari dari tulisan ini, mungkin juga tidak. Apa pun itu, selamat membaca.
Saya percaya langkah pertama untuk bisa menemukan solusi adalah…mengakui adanya masalah. Selama kita menyangkal bahwa ada yang salah dan perlu diperbaiki, ya gimana mau sampai ke solusi.
Dan buat teman-teman yang merasa masih struggling soal jealousy & bitterness, you’re off to a great start. Fakta bahwa kamu merasa perlu memperbaiki diri, artinya sudah mengakui ada yang belum sempurna. Tidak menyangkal bahwa kalau kita jadi makhluk yang iri dan bitter terus, tidaklah sehat. Langkah pertamanya sudah benar. Ini penting, karena ada koq orang-orang yang sampai usia tua masih gagal di langkah pertama ini. Merasa gak ada yang salah dengan mindset dan sikap mereka. Nah, sesudah langkah pertama, lalu apa?
“Your relationship with yourself sets the tone for every relationship you have”
Robert Holden
Ini adalah kutipan dari seorang psikolog asal Inggris yang saya yakini benar. Dan ini gak cuma soal relasi romantis dengan pasangan. Tapi juga relasi kita dengan orang lain sebagai makhluk sosial.
Selama kita sendiri tidak nyaman dengan diri sendiri. Tidak merasa utuh dan selalu merasa berkekurangan. Ya gimana kita bisa memiliki relasi yang sehat dengan orang lain? Gimana kita gak ngiri sama pencapaian orang lain?
Penting untuk belajar menjadi pribadi yang utuh. Yang bisa menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang bisa merasa cukup tanpa harus membandingkan diri dengan orang lain. Yang bisa merasa bahagia dari dalam, bukan dari validasi dan komparasi eksternal.
Ini hal yang teramat penting. Dan sayangnya, teramat sulit. Kita dibesarkan dalam konstruksi sosial bahwa hidup adalah kompetisi. Bahwa semakin kita lebih dari orang lain, artinya semakin baik. Ya nilai ujian, ya peringkat di sekolah, hingga gaji dan kepemilikan material. Reference point kita selalu pihak lain. Kita tidak pernah dibekali kemampuan mawas diri. Self-awareness. Tahu siapa diri kita, apa kelemahan kita, apa yang kita mau, dan bagaimana merasa cukup.
AUTOMATIC THINKING & CONTROLLED THINKING
Satu hal yang saya pelajari saat kuliah Psikologi, adalah bagaimana otak kita begitu sering melakukan automatic thinking. Berpikir secara otomatis. Mengambil kesimpulan secara cepat dari data yang seadanya. Mulai dari stereotip seperti “Oh dia China, pasti pelit”, atau kesimpulan ngasal seperti “Koq dia bawa pisau, pasti dia mau merampok”. Daniel Kahneman dalam buku Thinking, Fast and Slow juga menjelaskan soal dua sistem berpikir ini. Sistem pertama yang lebih cepat, otomatis, dan emosional. Atau automatic thinking.
Sebaliknya, sistem kedua adalah controlled thinking yang lebih hati-hati, butuh usaha, tapi logis dan bertujuan. Kedua sistem ini ada dan diproses di otak manusia. Mempengaruhi bagaimana kita memproses informasi dan sampai pada kesimpulan. Sistem pertama yang seringkali tidak sempurna tadi, adalah buah dari evolusi panjang dari zaman prasejarah, kala di zaman dulu manusia dituntut untuk membuat keputusan hidup dan mati dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kita gak bisa menghilangkannya sama sekali. It’s the part that makes us human.
Ketika kita melihat orang lain bahagia lalu kita berpikir negatif, bisa jadi ini adalah hasil automatic thinking kita. Manusiawi, koq. Berpikir bahwa orang lain cuma beruntung. Berpikir bahwa orang lain gak layak akan kesuksesannya. Pertanyaannya, maukah kita tidak berhenti di automatic thinking saja? Berani gak kita lanjut ke controlled thinking? Berpikir ulang, bahwa jangan-jangan kesimpulan dan pemikiran saya tadi tidak sepenuhnya benar. Merefleksikan ulang pemikiran kita.
Ini tentu butuh usaha, kesadaran, dan waktu yang tidak mudah. Tapi jika kita sering melatihnya, saya yakin lambat laun controlled thinking kita akan makin terasah. Alih-alih puas dengan pemikiran negatif yang otomatis, lama-lama kita akan sering berpikir lebih mendalam dan reflektif. Jadi, lain kali rasa itu datang dan otak kita mulai diisi pikiran negatif, coba deh berhenti sejenak. Puaskah kita dengan automatic thinking kita barusan? Jangan-jangan, kita perlu melakukan controlled thinking.
TIAP ORANG PUNYA BAHAGIANYA MASING-MASING
Hal lain yang membantu saya mengikis rasa iri, adalah kesadaran bahwa tiap orang punya jalan ninjanya masing-masing. Tiap orang bisa menemukan bahagianya masing-masing. Bahagia itu bukan tiket konser BTS, yang perlu ticket war dan menyisakan pemenang dan pecundang. Jangan-jangan, bahagia itu cukup bagi semua orang. Kalau orang lain bahagia, belum tentu kita jadi gak bisa bahagia. Kalau orang lain sukses, bukan artinya kuota sukses kita berkurang.
Bahagia itu personal. Apa yang membuat orang lain bahagia, ya belum tentu bisa membuat kita bahagia. Dan apa yang bisa membuat kita bahagia, ya kita sendiri yang paling tahu. Pertanyaannya, kamu sudah tahu belum apa yang bisa bikin kamu bahagia? JIka sudah, kamu sudah mengusahakan apa saja untuk mencapainya? Gak jarang, kita gak pernah menggali sebenarnya kita tuh maunya apa. Dan kita juga belum mengusahakan yang terbaik. Lalu kenapa harus iri melihat orang lain mendapatkan mimpi yang mereka usahakan sendiri?
GAK HARUS SELALU JADI BINTANG UTAMA
Di dalam film superhero, bintang utamanya biasanya si pahlawan super yang memiliki kecerdasan, kekuatan, dan kemampuan hebat. Tapi, film superhero yang bagus selalu ada sidekick dan pemeran pendukung yang membantu sang superhero. Batman tanpa Alfred mungkin cuma playboy ngehe yang sering ngopi seharga 80ribu. Stephen Strange tanpa Wong mungkin cuma dokter sotoy yang bisa sulap kayak Pak Tarno.
Begitu juga hidup. Tanpa orang-orang yang jadi sidekick dan bertugas memberi dukungan pada si tokoh utama, belum tentu penjahat bisa dikalahkan. Kadang, kita terlalu fokus untuk jadi bintang utama, dan enggan menjalani peran sebagai pendukung. Seakan-akan hidup dan seisi dunia itu cuma ada buat kita doang. Kita harus selalu di tengah panggung dan disinari lampu sorot.
Padahal, gak jadi bintang utama juga gak kiamat. Menjalani peran sebagai pendukung pun, kita tetap bisa berkontribusi membuat dunia lebih baik. Bahkan, seringkali hidup itu gonta-ganti peran kita koq. Kadang jadi pemeran utama, kadang jadi pemeran pendukung, kadang jadi antagonis (saya sih ini kayaknya! haha). Saya akan pakai sebuah video bocah-bocah di sekolah Jepang untuk menggambarkan betapa pentingnya peran pendukung.
That’s the kind of world I want to live in. Kala saya bisa mendukung teman yang sedang berjuang, juga bisa ikut senang kala dia berhasil. Kalau kita semua bisa saling dukung dan ujungnya bisa sukses bareng, kenapa enggak?
Jangan-jangan, alih-alih jadi kepiting yang kerjanya cuma saling menjatuhkan terus, kita bisa lho jadi kepiting yang saling bantu dan manjat bareng ke tempat yang lebih tinggi? I want to be that crab. And I’ll do my best to try.
Sekian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat, ya. Pesan saya, we’re not in a rush. Dalam sehari menghilangkan rasa iri hati tentu mustahil. Perlu usaha dan proses yang tidak mudah.
Take your time. Take your baby steps. Progress at your own pace. It’s not like we have a deadline or anything anyway.
Jakarta, 3 April 2023