Gutenberg, Media Sosial, & Demokratisasi Pengetahuan

Gutenberg dan mesin cetaknya di abad ke-15 merevolusi pengetahuan dan berjasa memajukan peradaban. Dan ini tidak main-main. Gutenberg tak jarang dianggap sebagai salah satu sosok terpenting dalam sejarah peradaban.

Pada abad ke-5 hingga ke-14, kita mengenal abad kegelapan. The Dark Ages. Yang dimulai dari jatuhnya Kekaisaran Roma di abad ke-5. Lantas bertahan hingga sembilan ratus tahun ke depan. Masa-masa yang ditandai memburuknya ekonomi, budaya, dan intelektual masyarakat. Masa-masa pengetahuan dan agama HANYA dikuasai segelintir masyarakat elit. Saat kitab suci, buku, dan berbagai bentuk pengetahuan lain masih ditulis menggunakan tangan. Sehingga tidak bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Alhasil, pengetahuan jadi barang mewah. Hanya kelompok elit tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Masyarakat umum hanya bisa tunduk dan angguk-angguk saja pada kelompok elit tadi. Memberikan kekuasaan absolut pada segelintir orang tadi, terlebih bangsawan, keluarga kerajaan, dan Gereja Katolik. Dan sebagaimana sejarah selalu membuktikan: absolute power, corrupts absolutely. Kerajaan dan Gereja pun menjadi aktor kebusukan moral selama Abad Pertengahan. Dari peperangan dan penaklukan keji, hingga menjual pengampunan dosa bagi siapa saja yang mampu membayar. Kemerosotan moral yang luar biasa.

Lalu datanglah Gutenberg dan mesin cetaknya pada abad ke-14.

Berkat penemuan mesin cetak, pengetahuan tidak lagi dikuasai segelintir masyarakat elit saja. Sebuah buku yang tadinya butuh waktu mingguan bahkan bulanan untuk ditulis tangan, jadi bisa diproduksi massal dalam hitungan jam. Kitab suci dicetak massal. Buku pengetahuan, media massa, dan diskursus intelektual jadi mudah dilakukan. Demokratisasi pengetahuan terjadi. Tidak butuh waktu lama, Abad Pencerahan atau Renaissance pun tiba. Abad kebangkitan kembali sektor ekonomi, pengetahuan, politik, dan budaya di Eropa. Lompatan hebat menuju modernitas dan perubahan sosial yang luar biasa.

SARINGAN PENGETAHUAN

Selama ratusan tahun berikutnya, persilangan ide, pengetahuan, dan diskursus intelektual terjadi begitu masif. Dan seiring waktu, masyarakat membentuk sistem dan caranya sendiri dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari pentingnya pendidikan. Adanya pembagian peran dan spesialisasi dalam masyarakat. Hingga munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan baru dan para ahli di bidangnya masing-masing. Kita memiliki sistem soal bagaimana pengetahuan didapatkan, divalidasi, dan disebarkan.

Kita pun memiliki sistem “penyaringan” pengetahuan dengan para ahli sebagai jangkarnya. Ingin menulis buku? Ada sistem dan tahapan yang harus dilalui. Tidak sekadar menulis lalu tiba-tiba bisa dibaca oleh publik. Ada proses penyaringan di tingkat editor dan penerbit buku. Ingin menulis jurnal ilmiah? Juga ada tahapannya. Lewati sistem pendidikan dulu, jalani penelitiannya, peer review, penyaringan editor, dan lainnya.

Dan sistem penyaringan pengetahuan ini terjadi di berbagai bidang. Tak hanya soal penulisan dan bidang ilmiah. Ya buku, musik, film, hingga olahraga dan hiburanm, memiliki standar dan saringannya masing-masing. Tiap sektor memiliki ahlinya sendiri. Yang berperan penting memilah mana yang layak disampaikan ke publik dan mana yang tidak.

ERA INTERNET DAN MEDIA SOSIAL

Kemunculan internet dan media sosial mengubah segalanya.

Kini semua orang bebas berkreasi dan berekspresi tanpa sistem penyaringan ketat. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk bicara dan memproduksi pengetahuan. Kita telah mendemokratisasi pengetahuan sebegitunya, hingga siapa saja bebas berbicara apa saja. Termasuk mereka-mereka yang sebenarnya tidak punya esensi apa-apa untuk dibicarakan.

Ocehan bocah 15 tahun dan dokter senior yang berpengalaman 30 tahun soal obat, menjadi sama nilainya di mata algoritma dan media sosial. Ucapan pakar mikrobiologi pemenang Nobel dan Youtuber sok tahu soal virus, bisa memiliki kadar kebisingan yang sama di internet. Selamat datang di era Matinya Kepakaran. The Death of Expertise, kalau kata Tom Nichols. Saat kepakaran tidak lagi dianggap penting dan sentimen anti intelektualisme kian mendominasi.

Kita tidak lagi memiliki filter pengetahuan. Semua yang punya HP dan internet ya bisa ikut memproduksi “pengetahuan”. Sebodoh apa pun itu. Ya lewat pesan WhatsApp. Ya lewat konten di Tiktok, Youtube, atau Instagram. Ya lewat meme atau twit tolol tidak berdasar. Eranya bocil tolol caper bebas menggaungkan pesan berbahaya ke jutaan orang. Ya soal finansial, kesehatan, psikologi, dan lainnya.

Dan sayangnya, platform media sosial tidak peduli-peduli amat soal itu. Twitter era Elon Musk mengubah drastis kebijakan centang biru. Centang biru yang awalnya hanya diberikan pada mereka yang relevan dan kredibel, kini diobral ke siapa saja yang mau membayar. Dengan beberapa dolar per bulan, akun Twittermu akan mendapat centang biru. Mendapat lampu sorot ekstra dan cuitanmu akan diprioritaskan algoritma.

Media sosial lain juga tidak lebih baik. Silakan tonton The Social Dilemma atau baca liputan The Facebook Files. Platform cuma peduli seberapa sukses konten menggaet atensi pengguna. Semakin bodoh dan memicu perdebatan, ya semakin diprioritaskan oleh algoritma. Karena membuat pengguna bertahan lebih lama dan lebih interaktif. Dua hal yang amat disukai pengiklan, bensin utama platform.

MENGAPA BEDA DENGAN GUTENBERG?

Revolusi pengetahuan yang dicetuskan Gutenberg memiliki dampak yang baik bagi peradaban. Mengapa revolusi pengetahuan yang dipicu internet dan media sosial memiliki dampak sebaliknya? Menurut saya, keduanya berbeda secara fundamental.

Revolusi Gutenberg menghasilkan demokratisasi pengetahuan dari sisi konsumsi. Orang yang tadinya tidak bisa mengkonsumsi pengetahuan, jadi bisa membaca buku dan sumber-sumber ilmu pengetahuan lainnya. Orang berlomba-lomba mengkonsumsi pengetahuan.

Internet dan media sosial sebaliknya. Mereka menghasilkan demokratisasi pengetahuan dari sisi produksi. Semua orang kini ingin berbicara, didengar, dan memiliki audiens sebesar-besarnya. Orang berlomba-lomba memproduksi konten dan pengetahuan. Setolol apa pun itu.

Apa yang terjadi jika semua orang diberi pelantang suara? Harmoni? Alunan musik yang merdu? Ya tidak. Untuk bisa menjadi penyanyi yang bagus, tentu butuh belajar dan latihan panjang. Tidak semua orang bisa melaluinya. Bahkan, tidak semua orang juga sebenarnya perlu menjadi penyanyi. Orang-orang bijak mungkin tahu diri bahwa suara mereka tidak sebagus itu untuk dipertontonkan.

Sayangnya, studi Dunning-Kruger menunjukkan sebaliknya. Mereka-mereka yang tidak kompeten, tidak akan ragu menyuarakan ketidakkompetenan mereka. Karena sejatinya mereka tidak sadar bahwa mereka itu tidak kompeten. Yang bodoh persis peribahasa tong kosong nyaring bunyinya. Yang cerdas persis ilmu padi: semakin berisi semakin merunduk.

Maka jangan heran jika hari-hari ini linimasa terlalu bising oleh suara-suara fals. Oleh bocil-bocil tolol caper yang tidak punya ilmu apa-apa. Oleh anak-anak muda krisis identitas yang mencari validasi diri dengan mempertontonkan kebodohan. Oleh orang-orang bodoh yang bahkan tidak tahu bahwa mereka bodoh.

Mungkin sudah saatnya kita tinggalkan ilmu padi. Bahwa yang berisi jangan melulu merunduk. Bahwa yang cerdas jangan terlalu malu-malu kucing berbagi ilmu. Bahwa yang cerdas dan waras jangan ngalah mulu. Karena kalau demikian saya ragu peradaban akan berjalan ke arah yang lebih baik. Jangan-jangan kalau begini terus kita ini segera kembali memasuki Abad Kegelapan.

Yaaa semoga saja kali ini saya salah. Semoga.

Jakarta, 6 Mei 2023

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: