Malang nasib siswa di Temanggung. Ia dirundung oleh teman-temannya. Ia mengadu pada gurunya, lalu diacuhkan bahkan direndahkan. Ia marah lantas frustrasi, hingga membakar sekolahnya di malam hari saat tidak ada orang. Ia ditangkap dan “dipamerkan” ke publik oleh polisi bak pemerkosa dan pembunuh berantai. Tak berhenti sampai sana, setelah ditangkap pun ia masih dicap caper oleh kepala sekolahnya. Malang benar, nasibnya.
Sebagian warganet mengecam aksi bakar sekolah yang ia lakukan, tapi tidak sedikit yang bersimpati dan memahami. Bahwa kesabaran itu ada batasnya. Bahwa sakit hati itu manusiawi. Bahwa ruang kelas kita belum menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi semua. Dan perundungan, pelecehan seksual, hingga diskriminasi dan korupsi masih lumrah terjadi di institusi pendidikan kita.
Ada dua hal yang saya pikirkan kala membaca berita tersebut. Yang pertama, untunglah ini bukan Amerika Serikat. Jika kejadiannya di AS, mungkin yang terjadi bukan sekadar pembakaran ruang kelas tanpa korban. Mungkin yang terjadi penembakan massal dengan banyak korban jiwa. Sesuatu yang kerap terjadi di sekolahan AS, saat titik didih anak yang perkembangan emosionalnya belum sempurna dikombo dengan mudahnya akses senjata api. Untungnya, kepemilikan senjata bukan budaya kita. Tragedi yang lebih besar tak perlu terjadi. Tapi, bagaimana caranya ya agar hal serupa tidak lagi terjadi di Indonesia?
Pertanyaan itu membawa saya pada hal kedua yang saya pikirkan: apa ya yang akan saya lakukan kalau berada di posisi sang siswa? Apakah saya juga akan bakar sekolah? Kenapa ya dulu saya gak bakar sekolah saya?
Jawabannya sederhana. Saya beruntung. Saya beruntung tidak disekolahkan di sekolah yang jelek-jelek amat. Saya beruntung punya guru-guru yang tidak bangsat-bangsat amat. Saya beruntung lingkungan dan pertemanan sekolah saya tidak buruk-buruk amat. Kenakalan remaja teman-teman sekolah saya dulu paling merokok, bolos, atau berantem. Mentok-mentok hamil di luar nikah (itu pun tidak sampe minta donasi dari netijen sih jadi gak bangsat-bangsat amat).
Perundungan mungkin terjadi dalam riak-riak kecil sewajarnya ketololan remaja, tapi ujungnya semua guyub dan saling bantu. Khususnya saat bagi-bagi contekan jelang ujian. No one left behind. We made sure of that.
Saya juga beruntung tumbuh di keluarga yang cukup suportif dan tidak segan menempeleng saya saat saya salah. Pulang sekolah kemalaman? Plak! Berantem sama temen sampe dipanggil guru? Plak! Bolos sekolah karena bosan? Jeder! Dan seterusnya. Poinnya bukan di kekerasan fisik yang dilakukan orangtua zaman dulu ya. Tapi ke aksi mendisiplinkannya.
Makin ke sini, makin sering saya menjumpai orangtua yang terlalu memaklumkan kebangsatan anaknya. Berlindung di balik kata-kata “Yah, namanya juga anak-anak”. YA JUSTRU KARENA MASIH ANAK-ANAK LO KASIH CONTOH DAN NASEHATIN YANG BENER GIMANA SIK. Kenapa malah didiemin dan dimaklumin?
Anak mukulin orang lain, dimaklumkan. Anak nge-bully temennya, dibiarin. Anak gak sopan ke gurunya, didukung. Ya gak heran kalau nanti anak lo jadi pelaku perundungan sampe korbannya ngebakar sekolah. Atau mukulin anak orang sampe cacat sambil naek Rubicon. Lo yang gak bisa ngedidik anak, orang lain yang repot. Orangtua perlu sadar bahwa anak kesayangan mereka itu bukan malaikat tanpa cela. Perlu sadar bahwa anak yang mereka cebokin dari kecil itu bisa jadi penjahat yang perlu belajar soal konsekuensi.
Kita bisa belajar dari Joe Biden soal ini. Terlepas dari segala kontroversi dan skandal sang anak, Hunter Biden, saya tersentuh mendengar kalimat yang Joe Biden ucapkan ke anaknya dalam sebuah rekaman voicemail: “It’s Dad. I called to tell you I love you. I love you more than the whole world, pal. You gotta get some help, I don’t know what to do. I know you don’t either, but I am here no matter what you need, no matter what you need, I love you.”
Yang belum dengar, cek deh di Youtube. Rekaman voicemail dari Joe Biden ke anaknya di tahun 2018. So heartbreaking. Tapi pesannya jelas: you fucked up. you need to get some help. I still love you, but you made mistakes. Own it. Pelajaran penting bahwa setiap anak perlu belajar soal konsekuensi, tanggung jawab, juga mengakui kesalahan.
Selain orangtua, tentu peran sekolah dan guru juga tidak kalah penting. Tapi saya paham, hal ini tidak mudah dicapai mengingat kesejahteraan dan kualitas guru kita masih begitu timpang. Antara sekolah swasta mahal di kota besar dan sekolah negeri reyot di pelosok daerah. PR kita masih banyak. Jalan kita masih panjang. Gimana guru bisa fokus mengembangkan karakter siswa kalau besok makan apa aja masih bingung? Gimana guru bisa proaktif mencegah perundungan kalau gajinya aja gak turun-turun?
Jalan terbaik mencegah perundungan ya perundingan dan perundangan.
Perundingan antara siswa, guru, juga orangtua. Memastikan semua punya tanggung jawab, perlu berperan aktif dan berkontribusi ke pendidikan sang anak. Bukan malah saling lempar tanggung jawab. Selain perundingan, ya tentu kita butuh perundangan.
Perundangan dari negara, untuk memastikan kuantitas guru tercukupi, kualitasnya baik, dan sistem serta regulasi yang tepat mencegah hal-hal buruk di institusi pendidikan. Kunci dari pendidikan di Indonesia itu di tenaga pendidiknya. Mau visi, program, dan kurikulumnya sebagus apa tapi kalau garda terdepannya masih diabaikan ya sama aja bohong. Sampai 2045 juga gak bakal kita mencapai Indonesia Emas. Yang ada Indonesia Cemas.
Sekian dulu ocehan gak jelas saya di hari Sabtu pagi yang cerah ini. Semoga kamu menikmatinya dan sampai jumpa di tulisan berikutnya.
Singapura, 8 Juli 2023
Leave a reply to Muh asri Cancel reply