Besok!

Fiksi.
#HariKeenam menepati janji menulis satu tulisan per hari 

Tiga tahun lalu.
Ia mengaku memiliki cinta, untukku.

Aku ragu ia sungguh memilikinya. Kami baru kenal beberapa minggu. Berawal dari saling sapa di lorong sekolah, kadang kami mengobrol. Kami sama-sama penghuni pertama gedung sekolah tua ini setiap harinya. Alasanku: rumahku jauh dan daerah rawan macet. Berangkat pukul lima, aku akan tiba pukul enam di sekolah. Terlambat berangkat lima belas menit, bisa-bisa aku baru tiba pukul delapan. Sederhana bukan? Alasan dirinya lebih sederhana lagi. Suatu hari ia salah melihat jam dan datang kepagian ke sekolah. Sejak “kecelakaan” itulah ia jadi rajin datang pagi ke sekolah. Menikmati pagi, kilahnya. Belakangan, baru ia akui, akulah alasannya untuk selalu datang pagi ke sekolah. Aku, yang bukan siapa-siapa ini, tiba-tiba menjadi bagian tak terpisahkan dari pagi yang ingin dinikmatinya.

Dua tahun lalu.
Ia bilang masih menyimpan cinta, untukku.

Aku masih ragu. Aku tahu, kami sudah cukup akrab. Semangkok bubur ayam hangat di meja kantin menjadi saksi bisu setiap paginya. Pun setumpuk surat cinta darinya di lokerku. Juga ratusan sobekan tiket bioskop dan puluhan buku yang kami nikmati bersama. Kami menikmati membunuh waktu bersama. Dengan indah, tentunya. Berdua. Tapi aku gagal menepis ragu, bahwa ruang hangat yang menyelimuti kami itu betul-betul cinta. Jangan-jangan ia hanya butuh seorang teman. Dan aku rasa aku teman yang tidak buruk-buruk amat. Untuk apa mempertaruhkan semua ini? Memulai sesuatu yang bisa berakhir menyakitkan? Jika tanpa itu pun aku masih bisa dekat dengannya. Mereguk manisnya.

Tahun lalu.
Ia nyatakan lagi cintanya, kali ini tanpa kata-kata.

Ia melepas tawaran beasiswa dari universitas di kota sebelah. Ia memilih tetap di Jakarta, di tempatku ingin merajut masa depan. Tapi sejentik keraguan lain kini menggoyahkan harapanku. Di depan kami akan ada lembaran kehidupan yang baru. Bukankah kini dunia akan berputar lebih cepat, dan aku dengan segera akan menjadi lembaran kenangan lama baginya? Aku lebih memilih menjadi kenangan indah sebagai sahabatnya nan kekal. Dibanding memulai kenangan baru yang mungkin lebih indah, namun belum tentu kekal.

Besok.
Giliranku menyatakan cintaku. Aku mencintainya. Lebih dari sekadar ribuan pelukan hangat seorang sahabat. Lebih dari ratusan kalimat-kalimat penopang kesedihan. Lebih dari puluhan momen di mana aku merasa tak kuat lagi menjadi sekedar sahabat, namun hati dan bibirku urung berharmoni seutuhnya.

Aku mencintainya. Sesederhana itu. Seabsolut itu. Dan besok akan aku curahkan semua perasaanku. Tentang kesempurnaannya yang membuatku ingin berada di sisinya. Juga tentang ketidaksempurnaannya yang juga membuatku ingin berada di sisinya.

Besok, aku akan menyatakan cintaku padanya. Tak boleh ada lagi keengganan bibir untuk berucap. Tak boleh ada lagi keraguan hati untuk bersikap. Tak boleh. Karena besok adalah kesempatan terakhirku. Aku tahu itu.

Karena saat petinya tertutup sempurna, dan tanah segenggam mulai menutupi liangnya, kami akan berpisah. Saat amin terucap dan air mata keluarganya menderas kembali, saat itu pula namanya terhapus dari dunia ini selamanya. Nama yang begitu hidup dan membawa bahagia kala kusebut, kini terbujur kaku dan membeku dalam memori.

Semoga pernyataan cintaku besok belum terlambat.
Aku yakin ia masih mendengar.

 

Iya kan, sayang?

 

Jakarta, dimulai 4 Februari 2011, diselesaikan 25 April 2011
Okki Sutanto
(Berusaha tak melulu berharap pada esok)

Kirim Komentar!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: