Ini adalah lanjutan dari tulisan pertama kemarin menyoal The Great Resignation. Jika belum baca, silakan baca dulu ya tulisan sebelumnya.
Kali ini kita akan bahas dampak dari The Great Resignation terhadap bidang ketenagakerjaan. Kenapa perusahaan berpotensi mengalami defisit star employee, surplus deadwood, serta krisis middle management di kemudian hari.
Data dari Harvard Business Review, kelompok pekerja yang paling banyak resign ATAU kepikiran untuk resign, ada di posisi middle management. Ini cukup jelas lah, ya. Kalau udah di puncak manajemen, pasti sudah lebih nyaman melanjutkan karirnya dan berat untuk resign.
Sebaliknya, mereka yang ada di entry level jobs atau cungpret terbawah dalam struktur perusahaan, juga harus berpikir berulang kali sebelum resign. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan terbatasnya posisi entry level jobs, mereka juga terancam digantikan oleh teknologi ke depannya. Pak Jokowi aja udah bilang mau menggantikan PNS dengan AI dan robot untuk urusan administratif yang repetitif.
Jadi, sebenarnya cukup masuk akal ya data dari HBR di atas. Yang paling tinggi kemungkinan untuk resign, ya karyawan yang berada di middle management. Yang sudah bertahun-tahun menapaki tangga karir. Sudah berpengalaman dan matang. Serta memiliki sejumlah staf atau bawahan.
Nah, kalau kata Orwell di Animal Farm, “All animals are equal, but some animals are more equal than others”. Begitu pun dengan karyawan. Gak semua karyawan itu, perannya “setara” lho di perusahaan. Khususnya jika dilihat berdasarkan performa dan potensinya. Pembagian paling sederhananya ya dalam empat kuadran begini (ada versi 9 matrix juga, cuma kita pakai yang empat kuadran aja biar gampang):

Cukup jelas ya, kuadrannya. Tergantung PERFORMA dan POTENSInya. Yang STARS ya idaman semua petinggi perusahaan, performa dan potensinya sama-sama tinggi. Work Horse juga masih akan dipertahankan sebisa mungkin, karena performa mereka terbukti tinggi meski potensi ke depannya terbatas.
Nah, yang potensi tinggi tapi performanya rendah, sering dianggap Problem Children, si bocah tengik yang susah diatur, padahal punya potensi. Biasanya perusahaan masih mau “membimbing” mereka biar bisa pindah kuadran jadi Stars employee. Yang terakhir, deadwood, yang performa dan potensinya sama-sama rendah. Mereka yang pertama bakal disikat kalau ada perampingan organisasi.
Kembali ke problematika The Great Resignation. Menurutmu, mana dari keempat tipe karyawan tadi yang paling KECIL kemungkinannya untuk ikutan The Great Resignation? Jelas: deadwood. Tidak semudah itu mereka menemukan opsi lain di luar pekerjaannya yang sekarang. Jika Stars sama Work Horses mungkin sudah dilirik banyak headhunter perusahaan lain, deadwood mah mentok-mentok dilirik sama HR sendiri. Lirikan sinis bercampur kasihan maksudnya, karena udah masuk target PHK dari si boss.
Nah, jika satu perusahaan terdampak The Great Resignation, banyak karyawan yang resign massal, kira-kira yang paling terkena dampaknya siapa? Ya Stars & Work Horses. Mereka yang selama ini performanya sudah terbukti baik, bakal ketiban ledakan pekerjaan ekstra untuk mengisi kekosongan yang ditinggal karyawan resign. Deadwood mah ya boro-boro, mereka ngerjain tugas standar aja udah kewalahan. Apalagi ditambahin tugas ekstra sama perusahaan. Alhasil, Stars & Work Horses yang awalnya bertahan di perusahaan, bisa jadi malah kepikiran untuk ikutan nyusul koleganya resign. GILA KERJAAN GAK ABIS-ABIS UDAH KAYAK DRAMANYA DODDY SUDRAJAT.
Kalau sudah begini, kira-kira yang lebih banyak bertahan di perusahaan siapa? Ya deadwood. Atau pekerja yang biasa-biasa saja. Gak menonjol. Jelek kagak, bagus juga kagak. Maka jangan heran jika gak lama lagi perusahaan akan makin surplus deadwood, serta makin defisit Stars employee.
Makanya, perusahaan harus benar-benar agile dan beradaptasi di keseluruhan proses Human Resource-nya. Ada yang udah langsung gercep mikirin cara biar dampak The Great Resignation di perusahaan mereka bisa diminimalisir. Bisa dengan menawarkan WFH atau WFA (Work From Anywhere) sebagai opsi permanen ke depannya. Atau meningkatkan program-program work-life balance dan fokus ke kesehatan mental pekerjanya.
Tapi, itu saja tidak cukup. The Great Resignation bakal berdampak luas ke keseluruhan proses Human Resource. Dari rekrutmen, onboarding & development, jenjang karir, sampai retain & exit. Usia pekerja pun berpotensi makin singkat ke depannya, program “penanaman” budaya korporasi yang umumnya butuh waktu bertahun-tahun, harus bisa dipangkas sesingkat mungkin.
Doing business as usuals won’t be enough. Perusahaan tidak lagi berkompetisi HANYA dengan perusahaan lain dalam mendapatkan pekerja bagus. Tapi juga dengan start-up yang makin dilirik pekerja, atau malah opsi membangun start-up yang kian banyak dilakukan ex karyawan top, atau pilihan lain seperti berwirausaha dan menjadi content creator yang belakangan banyak dilirik. Semakin cepat perusahaan beradaptasi, semakin cepat mereka tiba di masa depan dengan selamat. Semangat, mentemen HR!
Sekian tulisan kali ini. Semoga bermanfaat, ya. Sampai jumpa di tulisan berikutnya~
Jakarta, 11 Desember 2021.