Halo-halo, selamat tahun baru 2022! Semoga di tahun yang baru ini segala angan dan inginmu tercapai. Senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan untuk melewati setiap pelangi pun badai di tahun ini. Juga terakhir, jangan lupa bahagia.
Sebagai tulisan pertama di tahun 2022 ini, saya ingin menuntaskan “hutang” saya ke tahun 2021 terlebih dahulu: menulis segala pembelajaran yang saya dapat sepanjang tahun 2021. Biarlah ini menjadi catatan pribadi yang bisa saya lihat sewaktu-waktu.
BE PREPARED. AT ALL TIMES.
Kalau kata Seneca, “Luck is what happens when preparation meets opportunity”. Bener banget itu. Kesempatan bisa saja datang ke banyak orang, tapi hanya sedikit yang bisa menjadikannya sebagai keberuntungan. Anggaplah kamu kiper cadangan di klub bola, suatu saat kiper utama cidera. Kamu yang selalu siap 100% setiap minggunya meski belum tentu dimainkan oleh pelatih, bisa mengemban tugas itu. Memberikan performa maksimal, dan akhirnya mendapat tempat di tim utama.
Hidup pun begitu. Jika kita tidak senantiasa siap, bisa jadi kita membuang kesempatan emas yang mampir. Saya pernah diundang rapat virtual oleh calon klien. Infonya, mereka ingin menanyakan sesuatu. Saya pun mengiyakan, dengan bayangan saya akan lebih ke pasif dan reaktif saja saat meeting, siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sang calon klien tersebut.
Rapat pun dimulai. Setelah perkenalan singkat sekitar dua menit muncul kalimat ajaib “Ya silakan mas Okki menjelaskan penawarannya”. LAH? Kan saya udah ngasih semua info yang diperlukan, dari spesifikasi sampai harga sampai prosedur. Kenapa jadi saya yang harus ngejelasin lagi? Kirain mereka ada pertanyaan dan saya tinggal jawab aja? Bingung rasanya, ibarat mahasiswa pas pertemuan pertama langsung disuruh presentasi.
But it doesn’t matter. I never come unprepared anyway. Saya sudah menyiapkan presentasi untuk kebutuhan meeting tersebut. Jadi saya langsung share screen saja dan mulai presentasi. Menjelaskan dan menjawab setiap pertanyaan yang bahkan mungkin belum terlintas di pikiran para peserta rapat tersebut.
Saya memang suka menyiapkan slide presentasi. Biar lebih siap dan terstruktur, rapatnya. Begitu pun saat rapat virtual dengan WO dan vendor pernikahan saya. Saya menyiapkan presentasi detil menyoal setiap hal yang mungkin perlu disiapkan dan dipikirkan menjelang hari H. WO-nya sampai komen “Lah ini kan kerjaan aku, kenapa koko yang nyiapin?” haha.. Yah mohon maap. Udah kebiasaan.
BELAJAR MENARI DI TENGAH BADAI
Satu-satunya yang konstan adalah perubahan. Dan ini adalah pelajaran penting selama pandemi dua tahun ini. Perubahan terjadi begitu cepat, kita harus siap beradaptasi. Kita tidak bisa berharap dunia akan senantiasa cerah dan terang benderang. Hujan badai akan datang di waktu yang paling tidak kita inginkan. Daripada berhadap badai itu tidak datang sama sekali, lebih baik belajar menari di tengah badai. Belajar agile dan cepat beradaptasi, di tengah perubahan yang begitu masif dan drastis.
Dalam bisnis misalnya. PPKM darurat yang mengharuskan toko tutup (lagi), membuat saya harus beradaptasi. Juga saat kedua staf saya terinfeksi covid dan saya harus jaga toko sendirian. Buka toko, urus pelanggan, mengirim paket, mengiklankan barang, memperbaiki, mengurus supplier dan reseller, tutup toko. Semua saya kerjakan sendiri selama beberapa minggu. Capek banget, rasanya.
Tapi ya itulah hidup. Gak cuma urusan bisnis, begitu pun merencanakan pernikahan di masa pandemi. Begitu banyak perubahan di detik-detik terakhir. Manusia boleh berencana, semesta yang ngasih bencana. Dan kita, cuma bisa beradaptasi. Belajar menari di tengah badai.
KONTRIBUSI, BUKAN KOMPETISI.
Hidup itu tentang kontribusi, bukan kompetisi. Ini adalah mantra yang belakangan sering saya ucapkan ke diri sendiri. Juga salah satu pembelajaran penting dari buku Courage to be Disliked-nya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Yang membahasakan konsep sentralnya Adler, salah satu tokoh Psikologi berpengaruh, dengan sederhana dan mudah diaplikasikan.
Percayalah, mengucapkan mantra ini ke orang yang super kompetitif seperti saya bukanlah hal mudah. Saya itu tipikal manusia yang selalu menganggap orang lain sebagai kompetitor. Mau menjadi the smartest guy in the room. Mau jadi yang paling benar. Dan ini membuat saya kesulitan banget untuk bisa mengapresiasi orang lain “Ah dia mah sukses karena anak pejabat aja”, atau “Apaan sih beginian doang dipuji, gue bisa bikin karya lebih bagus”, atau “Elah dia beruntung aja ada di tempat dan waktu yang tepat”.
Lambat laun saya sadar, bahwa ini sebenarnya berakar dari insecurity saya sendiri. Perasaan bahwa saya tidak cukup baik, sehingga perlu “menjelekkan” orang lain agar saya tidak merasa buruk-buruk amat. Ini juga disebabkan oleh miskonsepsi yang saya miliki bahwa hidup itu sejatinya kompetisi. Bahwa relasi antar manusia itu sifatnya vertikal. Ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Ada yang menang ada yang kalah. Ternyata, hidup tidak harus begitu, lho.
Saya belajar bahwa relasi yang sehat itu relasi antar manusia yang sejajar dan horizontal. Bahwa setiap orang punya peran. Dan yang terpenting bukanlah memenangi kompetisi, tapi memiliki kontribusi. Sekecil apapun, baik dalam keluarga, komunitas, pun lingkup yang lebih besar. Carilah peran kita. Perbesarlah kontribusi. Perluas pertemanan, dan anggaplah setiap pertautan sebagai kesempatan untuk berkolaborasi dan berkontribusi.
Kini, saya tidak kesulitan mengapresiasi setiap pencapaian orang lain. Ada yang bikin usaha baru, saya follow sosial medianya, saya beli barangnya, saya kasih masukan (kalau perlu). Teman bikin karya, saya nikmati dan promosikan. Teman bikin konten, saya tonton dan share. Teman menang award atau promosi di karir, saya ucapkan selamat. Pencapaian dan kesuksesan orang lain, tidak mendefinisikan saya. Saya belajar untuk merasa senang dan tulus melihat orang lain mencapai banyak hal dalam hidupnya. Dan percayalah, hidup kini terasa jauh lebih damai.
DAN MASIH BANYAK LAGI
Masih banyak tentu, hal yang saya pelajari sepanjang 2021 ini. Tentang consume less & create more yang sudah sempat saya tuliskan di konten “Mencari Sunyi di Dunia yang Penuh Bunyi”. Tentang kedisiplinan berkarya, karena kuantitas seringkali berkontribusi ke kualitas. Tentang menjadi less reactive dalam menanggapi netijen bacot dengan segala opini tololnya.
Tentang letting go hal-hal yang tidak sejalan dengan value dan prioritas saat ini: misalnya Podcast Pinteran. Tentang belajar mawas diri bahwa saya ini cuma manusia biasa yang bisa salah, dan tidak perlu malu ketika kita salah. Saya belajar banyak tentang hal ini dari buku Mistakes Were Made (but not by me)-nya Carol Tavris dan Elliot Aronson. Usaha instingtif manusia, untuk melindungi citra dirinya, seringkali membuat kita enggan mengakui kesalahan. Bias pikir seperti ini, cuma akan berujung konflik (baik dengan diri sendiri pun orang lain), bencana, atau tragedi di masa depan. Biasakanlah mengkritisi dan mengoreksi diri sendiri. We might be wrong, and that’s okay.
Sekian, pelajaran-pelajaran saya sepanjang tahun 2021. Terima kasih telah membaca. Semoga bermanfaat, ya. Kalau kamu sendiri, gimana? Apa yang sudah kamu pelajari sepanjang tahun 2021 ini?
Jakarta, 5 Januari 2021.