Kemarin ramai opini seorang selebgram tentang menjadi miskin adalah suatu privilege. Di tengah pembahasan sebuah seminar tentang kewirausahaan dari seorang sosok anak muda yang lahir dan suksesnya tidak lepas dari privilege.
Kayaknya susah banget ya jadi orang miskin di sini. Udahlah mao makan empat sehat lima sempurna aja sulit. Mao ikut seminar dengan tujuan mengubah nasib aja harus nabung dulu nahan lapar dua minggu. Pas ikut seminar ternyata isinya sebatas halusinasi yang gak bisa direplikasi. Habis itu masih pula disalah-salahin kenapa mereka miskin, kenapa pindah ke kota padahal gak punya kompetensi apa-apa, kenapa gak bisa memanfaatkan “privilege”-nya sebagai orang miskin.
Awalnya, pas si selebgram bahas tentang privilege dan kemiskinan, gue kira dia lagi bahas buku The Privileged Poor, karya Anthony Abraham Jack. Yang ngebahas tentang kebijakan kampus-kampus top di Amrik yang memberikan kuota dan beasiswa untuk mahasiswa dari kalangan prasejahtera, ternyata tidak cukup. Admission itself is not enough. Admission is not access.
Mereka tetap kesulitan mengikuti pelajaran dan kultur di kampus tersebut, karena memang kampus tersebut selama puluhan tahun dibangun dan dipersiapkan untuk memfasilitasi mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari keluarga kaya. Mereka tetap termajinalkan, kesulitan mengikuti program di kampus, dan akhirnya kampus pun gagal menjadi social elevator untuk memberikan kehidupan yang lebih baik.
Saya menangkap poin yang ingin disampaikan si selebgram tersebut, tapi pembahasaannya memang kurang cerdas dan insensitif. Poin yang ingin disampaikan sebenarnya mirip dengan anekdot bahwa hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men. And so on. Yang intinya keadaan sulit itu sebenarnya membentuk kita menjadi lebih kuat. Terbentur, terbentur, terbentuk.
Hal ini sebenarnya sudah pernah dibahas Malcolm Gladwell juga di dalam buku David and Goliath. Tentang the advantages of the disadvantages. Bahwa seringkali, orang-orang yang berada dalam kesukaran juga memiliki “keuntungan”nya sendiri. Mereka yang dyslexia dan memiliki kesulitan belajar jadi harus belajar berkali-kali lipat lebih keras, dan tak jarang malah membentuk pribadi yang disiplin, tekun, dan haus ilmu, yang di kemudian hari membantu mereka memiliki karir yang cemerlang.
Tim-tim yang sering dianggap underdog dalam sebuah kompetisi, justru tak jarang bisa meraih performa lebih baik karena tidak mendapat tekanan besar dari lingkungannya. Dan terakhir (serta terpenting), Gladwell membedah kasus Daud versus Goliat, untuk menjelaskan bagaimana Daud sebenarnya memiliki beragam keunggulan dan kelebihan yang membuatnya bisa menang melawan Goliat. Tubuh yang lebih kecil sehingga susah menjadi target, kelincahan untuk bergerak karena tidak menggunakan zirah & perisai perang, serta senjata jarak jauh yang lebih cocok dalam konteks pertempurannya.
Kalau poin yang disampaikan adalah ini, bahwa kesukaran bisa membentuk orang menjadi lebih kuat, tangguh, dan baik, saya setuju. Bahwa disadvantages bisa menjadi “keberuntungan” bagi sebagian orang, saya setuju. Tapi menyamakan kemiskinan sebagai privilege, atau berkata bahwa hidup orang kaya lebih berat daripada hidup orang miskin, tentu ini kalimat yang tolol, tidak perlu, dan insensitif.
Bahkan di bukunya, Gladwell pun turut menyampaikan bahwa meskipun ada banyak dyslexics yang menjadi pengusaha sukses, banyak juga dari mereka yang berakhir di jalanan atau penjara. Meski ada disadvantage yang bisa menjadi “faktor pendorong” untuk kehidupan yang lebih baik, memiliki terlalu banyak disadvantages juga jelas menutup jalan seseorang untuk bisa berhasil. Tetap ada faktor internal (misalnya growth mindset dan cara berpikir positif), atau faktor eksternal (misalnya keluarga yang suportif).
Juga jangan lupa survivorship bias. Cuma karena ada satu orang miskin yang jadi sukses, bukan berarti semua bisa begitu. Cuma karena ada satu anak muda yang jadi kaya, bukan berarti semua akan demikian. Untuk setiap satu orang Steve Jobs setelah DO dari kampusnya malah jadi pengusaha hebat, ada sepuluh orang Steve No Jobs yang berakhir tanpa menjadi apa-apa.
Menafikan privilege ya melanggengkan kemiskinan struktural. Bahwa urusan kaya-miskin semata karena pribadi dan mindset orangnya saja. Bahwa siapapun bisa menjadi kaya jika mereka mau. Berpikir mikro seperti ini sangat bahaya. Kita harus juga bisa berpikir dalam tataran yang lebih luas. Berpikir secara makro. Bahwa ada ketidaksetaraan akses. Bahwa pendidikan kita belum merata. Bahwa sentra ekonomi kita masih terlalu Jawasentris. Bahwa rasio gini kita masih di angka yang memprihatinkan. Bahwa sistem ekonomi kita tidaklah kerakyatan.
Selama pandemi, mereka yang berada di kelompok ekonomi rentan paling terdampak, ada yang kena PHK atau kesulitan makan, sementara mereka yang sudah super kaya malah bertambah semakin kaya. Menafikan privilege artinya melakukan simplifikasi terhadap masalah inekualitas yang begitu multidimensional. Bahwa semua permasalahan dalam hidup bisa selesai dengan kalimat-kalimat inspiratif taik kucing.
Mengakui privilege itu memang sulit. Seakan mengecilkan pencapaian kita sendiri. Bahwa kita sukses bukan karena perjuangan kita sendiri, tapi faktor lingkungan pun orangtua kita. Bahwa jangan-jangan saya tidak akan berada di titik kehidupan saat ini jika tidak terlahir di waktu dan tempat yang tepat. Padahal, bukan itu poinnya.
Saya jelas memiliki privilege. Banyak sekali privilege yang saya dapatkan. Tumbuh besar di keluarga suportif yang senantiasa mengedepankan pendidikan. Hidup sebagai kelas menengah di Jakarta. Memiliki komputer sejak SD. Mendapatkan akses internet dengan mudah. Belajar bahasa Inggris sedari kecil. Ikut les ini itu. Dibolehkan beli buku yang saya inginkan. Terlahir sebagai lelaki straight. Bisa melanjutkan pendidikan hingga ke S2. Dan masih banyak lagi. Semua itu privilege yang memudahkan hidup saya.
Segala pencapaian saya, tidak terlepas dari privilege yang saya miliki. And that’s all right. Sama seperti setiap kita di sini, saya tidak bisa memilih dimana saya lahir. Saya beruntung, jelas. Ada yang lebih beruntung, jelas. Ada yang kurang beruntung, juga jelas.
Poin penting dari membicarakan privilege bukanlah tentang menyalahkan dan membungkam mereka yang privilege, atau sebaliknya jadi sarana bagi sebagian dari kita untuk mengutuk privilege. Yang terpenting adalah mengakui privilege, belajar berempati, dan berprogres menciptakan dunia yang lebih adil, setara, dan aksesibel bagi semua.
Sadar, bahwa cuma karena kita bisa, bukan berarti orang lain bisa. Sebaliknya, cuma karena ada yang bisa sukses di usia muda, bukan berarti kita juga bisa menduplikasi hidup mereka. Ada begitu banyak faktor dan aspek kehidupan kita yang tidak sama. Belajar berempati, bahwa hanya karena kita dan teman-teman kita semuanya bisa bahasa Inggris dan lulus S1, bukan berarti semua penduduk bumi juga demikian. Mawas diri, bahwa kita ini bukan pusat alam semesta, jadi tidak semua hal itu tentang kita. Terakhir, pentingnya untuk menyadari bahwa kehidupan akan jauh lebih baik ketika kita berprogres menuju dunia yang lebih adil, setara, dan aksesibel bagi semua. Bukan cuma mereka yang privileged.
Sekian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Jakarta, 23 Januari 2022.