Sepanjang minggu ini rasa-rasanya dunia penuh kekerasan. Dimana-mana adu jotos. Hari Senin, Will Smith menampar Chris Rock di panggung Oscar. Hari Selasa, Jefri Nichol adu tinju sama netijen Twitter yang berawal dari pembajakan film terbaru Jefri & Wulan Guritno: Jakarta VS Everybody. Hari Kamis, kita melihat pertarungan tinju antara bocah 15 tahun melawan ayah tirinya yang difasilitasi akun YouTube ayah kandungnya. It really was a great week for violence. Putin approves!
I’m more of a pacifist myself. Saya bukan pecinta kekerasan. Kalau ada yang berkelahi, saya lebih suka jadi penengah (ya kadang provokator sih, tergantung mana yang lebih nguntungin). Intinya, saya gak suka mengotori tangan saya sendiri. Gak suka adu otot dan gagah-gagahan fisik sama manusia lain.
Pertama, karena ya tentu fisik saya emang gak gagah-gagah amat. Kedua, karena menurut saya kekerasan belum tentu jawaban yang terbaik. Violence is not the answer! Violence is the question, the answer is always yes. Lho? Gak gitu deh harusnya. Dikira saya Ajo Kawir kayak di film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas? Yang selalu mencari keributan dan adiksi kekerasan. Belum nonton? Tonton dulu ya, filmnya udah bisa dinikmati di Netflix.
Salah satu kutipan dari film (atau buku) Seperti Dendam yang berkesan bagi saya bunyinya kurang lebih begini “Lelaki yang burungnya gak berguna, gak akan takut sama apapun!” Untuk menjelaskan perilaku Ajo Kawir yang sembrono dan kerap kali menantang maut. Karena memang di film itu burungnya Ajo Kawir digambarkan gak bisa bangun karena pengalaman traumatik semasa kecil.
Nah, itu dia yang yang bikin saya gak suka kekerasan atau menantang maut. Sejauh ini burung saya berfungsi dengan baik, efisien, dan sempurna. Kalau ada tes CPNS juga saya rasa dia lolos, deh. Pinter, soalnya. Selalu tahu momen yang tepat untuk tidur, bangun, dan berdiri. Zero complaint!
Pengalaman saya yang berdekatan sama kekerasan paling zaman SD atau SMA. Pas SD, saya sama temen saya lagi numpang di punggung truk kontainer yang lagi gak bawa kontainer. Tiba-tiba, ada segerombolan bocah SMP yang turun dari Metromini dan nunjuk-nunjuk ke arah kami siap melempar batu. Ternyata, ada beberapa bocah SMP lain yang juga lagi numpang di truk kontainer yang sama. Kayaknya sekolah mereka bermusuhan. Saya dan teman saya berada di waktu dan tempat yang salah. Kami pun buru-buru turun dari truk dan menjauh dari tawuran.
Pas SMA, pernah juga ada insiden melibatkan sekolah lain di suatu pertandingan basket. Sekolah kami yang jadi tuan rumah menang, sekolah lain kalah. Lalu pemain, pelatih, dan orangtua mereka tidak terima. Protes keras ke tim kami dan wasit. Adu mulut pun tidak terhindarkan. Eskalasi meningkat menjadi keributan massal. Kami sampai harus diungsikan sementara ke gudang biar tidak jadi sasaran amuk massa.
Di luar itu, saya jarang berdekatan dengan kekerasan. Pas kuliah pernah sih, ketiban pulung ngurusin kaca senat yang pecah karena mahasiswa Teknik & Hukum mabok lalu berantem. Saya gak terlibat kekerasannya, tapi rasa-rasanya pengen saya jedotin itu mahasiswa yang berantem ke dinding berbatu di Sport Hall yang sering dipake latihan wall climbing. Mereka yang ribut saya yang repot. Hadeh.
Intinya, saya gak suka adu jotos. Karena buat saya ya itu pilihan terakhir banget dari sebuah resolusi konflik. Pasti ada solusi lain yang bisa diusahakan terlebih dahulu, yang bisa jadi hasilnya lebih baik. Kekerasan itu menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Bahkan bisa jadi masalahnya sendiri juga gak selesai, cuma nambah masalah baru aja.
Kayak kemarin ada ibu politisi yang menyiasati kelangkaan minyak goreng nasional dengan demo memasak tanpa minyak goreng. Hei, itu tidak menyelesaikan masalah~ Bisa-bisanya berharap rekayasa sosial budaya terjadi secara instan. Lu aja dua tahunan jualan anak sendiri buat jadi Capres kagak berhasil-berhasil. Ups! Intinya, perubahan dan intervensi sosial tidak bisa terjadi secara instan. Ada edukasi. Ada resistensi. Ada proses! Ada unfreeze, change, & refreeze kalo kata Kurt Lewin, pakar manajemen perubahan.
Daripada adu jotos, lebih baik kita adu tazos. Kalau adu jotos, menang jadi arang kalah jadi abu. Mending adu Tazos kan, menang dapet Pikachu kalau kalah ya beli lagi. Mayan kan makan Chiki lagi, daripada makan pisang rebus. Hehe. Kamu sendiri gimana, tim adu jotos atau adu tazos? Atau kamu bahkan gak pernah denger tazos itu apaan?
Jakarta, 3 April 2022.